JAKARTA – Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) memproyeksikan subsidi energi pada tahun ini membengkak dibanding relisasi subsidi yang digelontorkan pada 2017.

Ignasius Jonan, Menteri ESDM, mengatakan kenaikan terbesar berasal dari subsidi BBM jenis solar. Kenaikan ini sebanding dengan peningkatan harga minyak dunia sehingga mempengaruhi harga minyak mentah Indonesia (Indonesia Crude Price/ICP) yang jauh dari asumsi.

“Subsidi BBM dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) 2018 sebesar Rp7,1 triliiun outlook menjadi Rp29 triliun. Solar naik banyak, tiga kali lipat, 300%,” kata Jonan dalam konferensi pers di Kementerian ESDM Jakarta, Senin (17/9).

Untuk subsidi lainnya minyak tanah naik dari Rp 2,2 triliun menjadi Rp 3,6 triliun, kemudian LPG 3 kg naik 70% dari Rp 37,6 triliun menjadi Rp 56,3 triliun. Subsidi listrik naik 40%, dari Rp 47,7 triliun menjadi Rp 60 triliun. Total proyeksi subsidi sampai akhir tahun sebesar Rp148,9 triliun.

“Yang diputuskan APBN itu Rp94,6 triliun ternyata realisasinya hampir Rp 149 triliun. Jadi naik kira-kira hampir 60%,” ungkapnya.

Sementara untuk realisasi subsidi energi tahun lalu total sebesar Rp 97,64 triliun dengan perincian solar Rp 6,58 triliun, lalu minyak tanah Rp 1,72 triliun, LPG Rp 38,75 triliun serta listrik Rp50,59 triliiun.

Untungnya pembengkakan subsidi energi bisa ditutupi oleh perolehan penerimaan negara dari sektor energi. Pada tahun ini dalam APBN 2018 penerimaan sektor ESDM diproyeksikan sebesar Rp 156,7 triliun, namun pemerintah optimistis realisasi sampai akhir tahun penerimaan bisa mencapai Rp 240,3 triliun. “Jadi ada kelebihan Rp 90 triliun,” kata Jonan.

Penerimaan migas menjadi penopang terbesar dalam penerimaan sektor ESDM dengan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari Rp 86,5 triliiun menjadi Rp 144,3 triliun, lalu PPh migas dari Rp 38,1 triliun menjadi Rp 55,4 triliun. Lalu untuk minerba dari target APBN sebesar Rp 32,1 triliun diproyeksikan menjadi Rp 40,6 triliun.

Jonan mengatakan penyebab meningkat drastisnya penerimaan negara ESDM lebih disebabkan peningkatan harga komoditas, baik itu harga minyak maupun batu bara.

“Mayoritas karena peningkatan harga komoditi, terutama karena minyak, sedikit gas, dan minerba naik banyak. Bukan karena lifting. Lifting stabil. Harga saja yang bantu jadi baik,” tandas Jonan.(RI)