BOGOR – Masih besarnya subsidi bahan bakar minyak (BBM) merupakan penyebab utama terhambatnya pengembangan biofuel di sejumlah negara kawasan Asia Tenggara, utamanya Indonesia. Padahal dunia saat ini sedang terancam oleh semakin menipisnya cadangan minyak bumi.

Peneliti dari Center for International Forestry Research (CIFOR) Ahmad Darmawan mengungkapkan, Indonesia, Malaysia, Thailand, dan Philipina sempat begitu bersemangat mengembangkan biofuel, namun gagal memenuhi target masing-masing.

Indonesia, yang membayar lebih dari USD 15 miliar per tahun untuk impor BBM fosil, sempat mencanangkan target 2 persen biofuel dalam bauran energi di 2010, dan meningkat menjadi 5 persen pada 2025. Thailand, yang industri manufakturnya berkembang pesat dan sangat bergantung pada impor BBM fosil, juga menargetkan 8 persen penggunaan biofuel dan bauran energinya di 2011.

Tapi dalam catatan CIFOR, semua negara itu gagal memenuhi targetnya. Padahal negara-negara itu sangat cemas akan semakin menipisnya cadangan minyak bumi dunia, yang diikuti oleh kenaikan harga yang begitu tinggi. Kegagalan ini, ujarnya, bersumber pada sulitnya mempopulerkan biofuel, karena masih tingginya subsidi yang diberikan pada BBM fosil.

Ahmad Darmawan mengaku, masih cukup yakin biofuel memiliki potensi untuk mengurangi ketergantungan pada BBM fosil di waktu-waktu mendatang. Namun untuk itu, pemerintah di negara-negara Asia Tenggara utamanya Indonesia, harus berani mengambil kebijakan mengurangi subsidi pada BBM fosil.

“Indonesia, Malaysia, Thailand dan Filipina perlu secara bertahap mengurangi subsidi untuk minyak dan gas, dan menggantikannya dengan subsidi yang lebih tepat, yakni pada energi terbarukan. Kebijakan ini harus diambil dengan tepat dan berani, karena memang berisiko menimbulkan ketidakstabilan politik,” ujar Darmawan dalam situs resmi CIFOR awal Februari lalu.

Lembaga lingkungan yang berkantor di Bogor, Jawa Barat ini juga menuturkan, pemerintah tidak perlu khawatir akan risiko berkurangnya lahan hutan, akibat alih fungsi menjadi lahan perkebunan bahan baku biofuel. Karena untuk penanaman bahan baku biofuel, seperti sawit, jathropa atau jarak pagar, tebu, jagung, kedelai, dan sebagainya, banyak lahan-lahan terbengkalai yang bisa dimanfaatkan.

Tidak Ganggu Ketahanan Pangan

Ahmad Darmawan juga menyebutkan, pengembangan biofuel tidak perlu dianggap sebagai momok ketahanan pangan. Karena untuk kawasan Asia Tenggara utamanya Indonesia, bahan utama yang didorong untuk diolah menjadi biofuel adalah jarak pagar, dan terbukti sudah berhasil dalam skala komersial.

Untuk saat ini, tandasnya, hambatan terbesar pengembangan biofuel adalah subsidi BBM fosil. Hal inilah yang selalu membuat harga biofuel tidak bisa kompetitif dibandingkan harga BBM fosil. Padahal, negara-negara Asia Tenggara telah menghabiskan banyak devisanya akibat impor BBM fosil, dengan harga jual ke masyarakat jauh dibawah harga produksinya.

Ahmad Darmawan pun merekomendasikan, agar pemerintah negara-negara Asia Tenggara utamanya Indonesia, untuk berani nmengalihkan sebagian subsidi BBM fosil ke biofuel. Menurutnya, biofuel lebih menjanjikan dalam jangka panjang, terlebih dengan statusnya sebagai energi terbarukan yang ramah lingkungan.

“Hambatan utama adalah subsidi terus-menerus ke bahan bakar fosil, sehingga pasar biofuel tidak tumbuh seperti yang diharapkan. Pada akhirnya, itu semua kembali pada komitmen politik untuk menghapus subsidi bahan bakar fosil, meski itu merupakan langkah politik yang tidak populer,” tandasnya.

(Iksan Tejo/duniaenergi@yahoo.co.id)