JAKARTA – Pemerintah harus segera merumuskan perubahan strategi pengelolaan gas, khususnya dalam pemanfaatan gas alam cair (liquefied natural gas/LNG) yang diproyeksikan akan kelebihan pasokan.

Berdasarkan kajian Wood Mackenzie, pada 2018 produksi LNG di Indonesia diprediksi mencapai 18,5 juta ton. Produksi tersebut berasal dari kilang Bontang yang mencapai sembilan juta ton, kilang Tangguh tujuh juta ton dan 2,5 juta ton dari kilang Donggi-Senoro. Selain itu, 12,5 juta ton sudah committed untuk pasar ekspor ke pembeli Asia Timur, seperti Taiwan, dan China. Sisanya, enam juta ton untuk kebutuhan pasar domestik.

Pasokan LNG yang melimpah tidak bisa diserap seluruhnya. Proyeksi Wood Mackenzie menyebut, serapan domestik maksimal hanya mencapai 2,8 juta ton. Sisanya masih ada sekitar 3,2 juta ton LNG masih uncommitted.

Achmad Widjaja, Wakil Komite Tetap Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bidang Industri Hulu dan Petrokimia, menegaskan dengan masih banyaknya LNG yang uncommitted, menunjukkan strategi pemerintah untuk mendorong penyerapan gas domestik tidak berjalan lancar. Padahal pemerintah sudah menterminasi atau tidak meneruskan berbagai kontrak jual beli gas jangka panjang ke pasar luar negeri dengan alasan untuk memenuhi kebutuhan domestik.

“Pemerintah tidak pernah membuat perencanaan yang baik tentang energi utilisasi, sehingga dukungan PLN (sebagai penyerap gas) banyak pilihan atas energi alternatif. LNG adalah material masa depan PLN di samping batu bara yang ekonomis,” kata Achmad kepada Dunia Energi, Selasa (20/3).

Padahal dengan menggunakan LNG yang murah maka harga listrik nantinya juga bisa ditekan, sehingga industri dan masyarakat juga bisa tumbuh.

Dari berbagai kajian yang ada, termasuk data Wood Mackenzie menunjukkan potensi LNG untuk dimanfaatkan Indonesia masih sangat besar. Apalagi stok LNG dunia cenderung melimpah, sehingga harga cenderung turun.

Industri di tanah air sebagai salah satu konsumen gas terbesar justru masih dimanjakan dengan penggunaan gas pipa yang harganya sampai sekarang juga tidak bersahabat bagi para pelaku usaha.

“Industri tidak pernah disosialisasi tentang pemakaian LNG, yang ada gas alam berpipanisasi, bukan menuju LNG yang lebih praktis,” ungkap Achmad.

Pemerintah dalam berbagai kesempatan mengklaim ketersediaan infrastruktur menjadi salah satu tantangan besar untuk bisa meningkatkan penggunaan LNG di tanah air. Namun hal itu tidak bisa dijadikan kambing hitam pemerintah karena infrastruktur sebenarnya sudah tersedia namun implementasi masih jauh dari harapan.

Achmad mencontohkan fasilitas regasifikasi milik Nusantara Regas yang tidak beroperasi secara optimal, belum lagi dengan kondisi Floating Storage Regasification Unit (FSRU) di Lampung yang teronggok tidak dimanfaatkan hanya biaya sewa masih harus terus dibayar PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGAS).

Selain tidak ekonomis distribusi gas yang melalui terminal penerimaan dan regasifikasi LNG Tanjung Benoa sampai pembangkit listrik tenaga gas (PLTG) Pesanggaran. Namun PT PLN (Persero) justru lebih memilih bahan baku solar.

Infrastruktur regasifikasi milik PT Pertagas Niaga Land Storage Regasification Unit (LSRU) juga idle dan tidak maksimal melayani regasifikasi setempat dan tidak terakomodir secara interdenominasi dengan PT Pertamina (Persero) secara strategis.

“Apakah kami perlu sewa beli lagi dengan beberapa infrastruktur yang salah penempatan. Pemerintah perlu jelas dan fokus. Kementerian ESDM wajib action tanpa kajian lagi,” ungkap Achmad.

Satya Widya Yudha, Wakil Ketua Komisi VII DPR, menegaskan pemerintah harus tegas menetapkan sikap agar pasokan LNG yang uncommitted tidak terbuang. Jika pemerintah mau serapan domestik meningkat, maka harga gas harus diatur agar menarik bagi para investor. Untuk itu harus ada tata kelola gas yang baik.

“Ini masalahnya harga yang sampai ke konsumen masih mahal,” tukas dia.

Kalaupun mau kembali dilakukan kebijakan ekspor, hal itu jangan dijalankan setengah-setengah karena akibatnya surplus tidak akan bisa dihindari.

“Kalau surplus ya dijual saja pasar spot, tapi harganya bisa jadi murah atau kontrak jangka panjang atau mau serapan domestik ditingkatkan. Itu harus jelas dulu arahnya mau bagaimana,” tandas Satya.(RI)