Lin Che Wei.

Lin Che Wei.

JAKARTA – Analis senior dan pendiri lembaga survei “KATADATA”, Lin Che Wei kembali menegaskan, saat ini adalah momentum yang strategis bagi Pemerintah Pusat untuk ikut memiliki saham PT Newmont Nusa Tenggara (NNT) lewat pembelian 7% saham divestasi tahap akhir perusahaan tambang emas dan tembaga itu. Namun ia menyayangkan sikap para pejabat Kementerian yang tidak kompak.

Pernyataan ini dilontarkan Lin Che Wei, menyusul menghangatnya kembali perdebatan seputar kelanjutan program divestasi PTNNT. Seharusnya, sejak 2010 lalu pihak nasional sudah bisa menggenggam 31% saham divestasi PTNNT, plus 20% saham milik PT Pukuafu Indah dan PT Masbaga Indonesia, sehingga totalnya 51% alias mayoritas. Namun langkah itu terhenti ditengah jalan.

Pusat Investasi Pemerintah (PIP) yang ditugaskan mewakili Pemerintah Pusat membeli 7% saham divestasi PTNNT tahun 2010, sudah menandatangani perjanjian jual beli dengan pemegang saham asing PTNNT dan tinggal melakukan pembayaran. Namun dihadang oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Para wakil rakyat terutama yang duduk di Komisi VII dan Komisi XI, melarang PIP menggunakan dananya untuk membeli saham PTNNT. Para anggota DPR yang mayoritas dari Partai Golkar, juga mendesak Pemerintah Pusat untuk menyerahkan 7% saham divestasi PTNNT itu untuk dibeli tiga pemerintah daerah (pemda) di Nusa Tenggara Barat (NTB).

Alasan Menteri Keuangan yang saat itu dijabat Agus Martowardojo untuk membeli saham Newmont, salah satunya menyelamatkan saham perusahaan tambang itu dari dominasi kepemilikan swasta nasional, yang mendompleng tiga pemda di NTB. Selain itu, untuk melakukan pengawasan melekat pada operasi pertambangan PTNNT, guna mengoptimalkan manfaatnya untuk kepentingan negara.

Langkah Agus itu belakangan diikuti oleh Menteri Keuangan yang baru, Chatib Basri, yang juga bertekat menuntaskan pembelian 7% saham divestasi PTNNT. Ekonom senior dari Universitas Indonesia (UI) ini bahkan rela “mengemis” kembali ke Komisi XI DPR, untuk mendapatkan restu. Langkah Chatib, sejak jauh-jauh hari sudah mendapatkan dukungan dari Menteri BUMN, Dahlan Iskan.

Sayangnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Hatta Rajasa yang belakangan berubah haluan. Besan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ini justru setuju 7% saham divestasi PTNNT diserahkan untuk dibeli tiga pemda di NTB. “Saya tidak bilang dibeli Grup Bakrie atau siapa, tapi pemda. Pemerintah itu kan ada pusat dan daerah,” ujar Hatta belum lama ini.

Dahlan Iskan pun sempat menyindir sikap Hatta itu. Menurutnya, 7% saham divestasi PTNNT itu cukup mahal buat pemda, mencapai sekitar USD 246,8 juta. “Kalau pemda mau membeli, tentu ada “sponsor”-nya,” tutur Dahlan memberikan sinyal bahwa tetap ada kaki tangan swasta yang bermain di sana.

Curigai Pemburu Rente

Menanggapi perdebatan ini, Lin Che Wei yang telah melakukan analisa mendalam terhadap potensi saham divestasi PTNNT, menegaskan bahwa pembelian 7% saham divestasi PTNNT oleh Pemerintah Pusat, akan memberikan manfaat yang cukup besar bagi kedaulatan sumber daya alam dan bagi negara.

“Kalau ada yang meminta agar daerah diprioritaskan untuk membeli 7% saham divestasi PTNNT, itu sulit direalisasikan. Seharusnya dahulukan BUMN.  Hal ini pun sudah diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) tentang Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) bahwa dalam divestasi saham perusahaan tambang asing prioritas pertama ke Pemerintah Pusat, baru pemda, BUMN, dan terakhir swasta nasional,” ujar Lin Che Wei di Jakarta, Rabu, 17 Juli 2013.

Namun ia juga mengkritik Pemerintah Pusat, yang terkesan tidak kompak terkait pilihan kebijakan, untuk menuntaskan pembelian 7% saham divestasi PTNNT. Menteri Keuangan masih ingin menggunakan PIP. Sementara Dahlan Iskan mewacanakan pembelian oleh konsorsium BUMN.

Lebih aneh lagi, kata Lin Che Wei, suara yang mendorong agar saham divestasi itu diserahkan untuk dibeli pemda. Padahal sudah sangat jelas Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dari tiga pemda yang berhak membeli saham itu, yakni Pemda NTB, Pemda Sumbawa Barat, dan Pemda Sumbawa, tidak cukup untuk membeli saham seharga sekitar Rp 2,4 triliun itu.

Dari situ, muncullah kecurigaan adanya permainan para pemburu rente (keuntungan pribadi/kelompok, red).  “Pada ujungnya pemda nanti menggandeng pihak swasta yang belum tentu ada dananya. Mereka ini hanya ingin mendapat rente, dengan menawarkannya kepada investor asing. Dan kalau ini terjadi, tujuan divestasi yang diamanatkan Undang-Undang tidak akan tercapai,” tutur Lin Che Wei.

Paling Tepat BUMN

Senyampang dengan itu, berdasarkan analisisnya dalam setahun belakangan ini, Lin Che Wei menilai yang paling tepat ditugaskan Pemerintah Pusat untuk membeli 7% saham divestasi PTNNT, adalah konsorsium BUMN yang dipimpin oleh PT Danareksa.

Berdasarkan data keuangan konsorisum BUMN yang pernah diungkapkan Menteri BUMN, ujarnya, keuntungan Danareksa mencapai Rp 5,4 triliun, dengan kas mencapai Rp 4,5 triliun. “Jadi opsi paling memungkinkan ialah pembelian oleh konsorsium BUMN,” tandasnya.

Namun, lanjutnya, apa pun opsi yang akan dipilih, mensyaratkan jajaran Pemerintah Pusat harus kompak. Seluruh Kementerian dan lembaga yang menjadi organ Pemerintah Pusat, harus bersinergi untuk memuluskan kebijakan pembelian 7% saham divestasi PTNNT. “Pembelian 7% saham divestasi PTNNT ini adalah momentum emas buat Pemerintah Pusat,” ujar Lin Che Wei mengingatkan.

(Iksan Tejo / duniaenergi@yahoo.co.id)