JAKARTA – Penumpukan bijih nikel kadar rendah yang kini hanya menjadi tumpukan (stockpile) saja, mendesak pemerintah untuk menghitung harga keekonomiannya agar bisa terserap untuk pabrik pengolahan dan pemurnian (smelter) di dalam negeri. Hal ini merupakan akibat dari ditutupnya keran ekspor mineral mentah, termasuk bijih nikel, sejak Januari 2014.

“Pemerintah akan memaksa smelter menggunakan nikel yang low grade, kalau memang tidak bisa di ekspor,” kata Bambang Gatot Ariyono, Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara (Minerba) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) di Jakarta.

Saat ini, Kementerian Perindustrian masih mengkaji soal harga keekonomian bijih nikel kadar rendah. Adapun harga internasional bakal menjadi acuan abagi pemerintah dalam menentukan harga bijih nikel tersebut.

Ladjiman Damanik, Direktur Ekskutif Asosiasi Pengusaha Mineral Indonesia (Apemindo), mengatakan selama ini smelter lokal yang sudah beroperasi hanya menggunakan nikel high grade (Ni 1,8% -2%) untuk memenuhi aspek keekonomian.

Ladjiman memperkirakan saat ini nikel kadar rendah mempunyai harga ekonomis ditingkat global, seiring larangan ekspor di Filipina yang selama ini memang hanya memiliki nikel rendah kurang dari 1,80%.

Kelonggaran ekspor nikel kadar rendah, kata Ladjiman, di samping bisa menjadi sumber pendanaan membangun fasilitas smelter, juga untuk melaksanakan kewajiban konservasi sumber daya mineral sesuai Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 pasal 18.

“Kelonggaran ekspornya jangan terlalu lama cukup 3-5 tahun saja.Kelonggaran ekspor juga bisa dikenakan bea keluar (BK) dan pengaturan kuota, berdasarkan kemajuan pembangunan smelter,” tandas Ladjiman.(RA)