Johanes Widjonarko.

JAKARTA – Wakil Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Johanes Widjonarko menuturkan, sepanjang pelaksanaan proyek bioremediasi oleh PT Chevron Pacific Indonesia, tidak ada temuan BPKP maupun BPK yang mengarah pada kerugian negara.

Hal ini dituturkan Widjonarko, saat menjadi salah satu saksi dalam persidangan kasus bioremediasi Chevron di Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Selatan, Senin, 4 Februari 2013, dengan terdakwa Ricksy Prematuri, Direktur Utama PT Green Planet Indonesia.

Green Planet Indonesia merupakan salah satu kontraktor Chevron, dalam pelaksanaan teknis kegiatan bioremediasi tanah tercemar limbah di wilayah operasi Chevron. Total jumlah saksi dari SKK Migas yang dimintai keterangan dalam persidangan itu sebanyak sebelas orang.

Dijelaskan oleh Widjonarko, kontrak Chevron dan Pemerintah Indonesia, merupakan kontrak jangka panjang selama 30 tahun, yang dibuat dibawah hukum keperdataan. Oleh karena itu, apabila ada temuan audit, baik oleh Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) maupun Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) maka akan langsung dikoreksi.

Hingga kasus ini mencuat 2012 lalu, menurut Widjonarko tidak ada temuan BPKP maupun BPK, terutama yang mengarah pada adanya kerugian negara dalam proyek bioremediasi Chevron. Menurut catatan Dunia Energi, audit BPKP baru muncul setelah sejumlah karyawan dan pimpinan perusahaan kontraktor Chevron, ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejaksaan Agung dalam kasus bioremediasi.

Sebelumnya, pakar hukum pidana dari Universitas Islam Indonesia (UII) Dr Mudzakkir SH MH juga mengungkapkan, hasil audit BPKP dalam kasus bioremediasi Chevron tersebut, tidak cukup menjadi alat bukti terkait tindak pidana korupsi yang dituduhkan.

Karena menurut Undang-Undang Keuangan Negara, yang berwenang mengeluarkan audit sebagai bukti adanya kerugian keuangan negara, hanyalah BPK. “Auditnya pun bukan sekedar menghitung tumpukan angka-angka dalam berkas, tapi audit investigatif yang itu tidak mungkin dilakukan oleh BPKP,” ujar Mudzakkir di Jakarta, Desember 2012 lalu.

Termasuk juga tentang tuduhan proyek bioremediasi itu fiktif, sulit dibuktikan karena kegiatan itu dilaporkan secara berkala ke Kementerian Lingkungan Hidup, enam bulan sekali.

“Apabila ada pencemaran tapi tidak dipulihkan, BP Migas (Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi/sekarang SKK Migas, red) akan menegur karena itu berarti melanggar peraturan,” tegas Widjonarko di depan persidangan.

Widjonarko yang pernah menjabat Deputi Umum BP Migas pada Juni 2011, juga mengaku tidak tahu tentang tuduhan yang dialamatkan kepada terdakwa Ricksy Prematuri. Karena BP Migas tidak ikut dalam kontrak antara Chevron dan Green Planet Indonesia.

Namun ia menerangkan bahwa Chevron merupakan perusahaan swasta murni, bukan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang diharuskan peraturan untuk mengelola limbah. Sehingga Chevron dapat mengalihkan pengelolaan limbah ke pihak lain.

“Sedangkan pembayaran untuk Green Planet Indonesia, murni dari PT Chevron Pacific Indonesia,” tandas Johanes Widjonarko.

(Abraham Lagaligo/abrahamlagaligo@gmail.com)