Kegiatan dalam proyek bioremediasi Chevron.

JAKARTA – Sebanyak sebelas saksi dari Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) telah dimintai keterangan dalam sidang kasus bioremediasi PT Chevron Pacific Indonesia. Dari keterangan mereka dapat disimpulkan, proyek itu sudah memenuhi kepatuhan teknis.

Hal ini diungkapkan Kepala Divisi Penunjang Operasi SKK Migas, Amir Hamzah, saat menjadi pembicara dalam Panel Diskusi “Pemahaman dan Pelaksanaan Undang-Undang dan Peraturan Pelestarian Lingkungan Pada Area Eksploitasi dan Eksplorasi Sumber Daya Alam Indonesia” yang digelar Ikatan Alumni Universitas Indonesia di Jakarta, Selasa, 5 Februari 2013.

Menurutnya, sebelas saksi dari SKK Migas itu dimintai keterangannya pada sidang kasus bioremediasi Chevron, Senin, 4 Februari 2013, di Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Selatan, dengan terdakwa Ricksy Prematuri, Direktur Utama Green Planet Indonesia, kontraktor Chevron dalam proyek bioremediasi.

“Pertanyaan yang diajukan banyak terfokus pada mekanisme pembiayaan,” ujar Amir. Para saksi menjelaskan bahwa pelaksanaan bioremediasi Chevron, mengacu pada Peraturan Menteri Lingkungan Hidup (Permen LH) Nomor 128 tahun 2003.

Permen itu terbit sebagai payung hukum, setelah Chevron dan SKK Migas (sebelumnya Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi/BP Migas, red) melakukan penelitian dan membuktikan, teknologi bioremediasi dapat diterapkan dalam penanganan limbah bekas minyak.

Selanjutnya dalam menunjuk kontraktor guna melaksanakan kegiatan teknis bioremediasi, Chevron membuka tender kontraktor umum. Tender ini mengacu pada Pedoman Tata Kerja Pengadaan Barang dan Jasa (PTK) nomor 007 yang diterbitkan BP Migas.

“Laporan mengenai hasil kegiatan bioremediasi Chevron ini, disampaikan ke Kementerian LH setiap enam bulan sekali. Proyek ini tidak fiktif, dan dari sisi kepatuhan teknis sudah terpenuhi,” tandas Amir.

Hal senada juga diungkapkan salah satu saksi dari SKK Migas, yakni Wakil Kepala SKK Migas, Johanes Widjonarko di depan persidangan kasus bioremediasi Chevron, Senin, 4 Februari 2013. Wijonarko sebelumnya pernah menjabat Deputi Umum BP Migas pada Juni 2011.

Dalam kesaksiannya di hadapan Majelis Hakim, Widjonarko menuturkan bahwa pengadaan barang dan jasa, hanya salah satu contoh dari banyak kegiatan dalam mekanisme Production Sharing Contract (PSC) yang menaungi seluruh kegiatan operasi hulu migas di Indonesia.

Work Planning & Budget (WPNB: Rencana Kerja dan Anggaran, red) yang diajukan KKKS (Kontraktor Kontrak Kerjasama Migas) kemudian dibahas bersama dan disetujui BP Migas. Untuk pengadaan barang dan jasa dalam kegiatan eksplorasi dan eksploitasi migas tunduk pada PTK 007,” jelas Widjonarko.

Biaya Tidak Dibebankan ke APBN

Widjonarko juga menerangkan, seluruh biaya yang timbul dari kegiatan bioremediasi itu, merupakan tanggungan Chevron. Apabila biaya kurang dari  USD 5 juta akan diverifikasi oleh KKKS sendiri. Namun bila biayanya berkisar antara USD 5 juta – 20 juta, maka akan diverifikasi oleh Kepala Divisi BP Migas.

“Selanjutnya bila biaya yang akan dikeluarkan dalam sebuah kegiatan hulu migas mencapai USD 20 juta – 100 juta, akan diverifikasi oleh Deputi Umum BP Migas. Dan biaya yang lebih dari USD 100 juta, akan diverifikasi oleh Kepala BP Migas,” urainya di depan persidangan.

Widjonarko menambahkan, verifikasi biaya itu akan dilakukan oleh BP Migas setelah KKKS mengusulkan calon pemenang pengadaan barang dan jasa. BP Migas sendiri tidak terkait dalam kontrak antara Chevron dan Green Planet, karena sepenuhnya biaya merupakan tanggung jawab KKKS.

“Tugas BP Migas, ialah pengendalian dan pengawasan di Indonesia,” tandas Widjonarko. Ia pun menggarisbawahi bahwa biaya kegiatan yang ditanggung oleh KKKS, tidak menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Karena cost recovery tidak dibayar dengan uang, tetapi dengan minyak hasil produksi.

(Abraham Lagaligo/abrahamlagaligo@gmail.com)