JAKARTA – Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas (SKK Migas) menilai metode Enhance Oil Recovery (EOR) bukan solusi utama dalam meningkatkan produksi migas nasional untuk memenuhi kebutuhan yang juga  terus naik. Untuk jangka pendek eksplorasi lebih dibutuhkan dibanding EOR yang tidak memberikan efek besar terhadap peningkatan produksi.

“EOR kurang nendang untuk kebutuhan nasional, yang dibutuhkan giant discovery, itu didapat dari eksplorasi,” kata Amien Sunaryadhi, Kepala SKK Migas di sela pelaksanaan Indonesian Petroleum Association (IPA) Convex 2018 di Jakarta, Kamis (3/5).

Menurut Amien, akan lebih efektif bagi para kontraktor untuk meningkatkan aktivitas atau kegiatan seismik. Dari situ potensi penemuan cadangan baru dalam jumlah raksasa lebih besar. Apalagi kondisi di Indonesia dari 128 basin atau cekungan yang memiliki potensi hidrokarbon masih ada 74 basin yang belum  dilirik sama sekali.

Butuh dana dan biaya yang tidak sedikit dalam melakukan kegiatan eksplorasi, bahkan negara pun tidak akan mampu untuk membiayainya. Untuk mensiasati keterbatasan dana tersebut pemerintah memberikan kesempatan kepada para kontraktor yang telah beroperasi untuk memperpanjang kegiatan operasinya, dengan catatan ada kegiatan eksplorasi dalam perpanjangan kontrak yang diajukan.

“Kalau ada blok migas expired, perlu diperpanjang, ini yang bisa diminta untuk bayar signature bonus, tapi yang ingin diusulkan SKK tidak besar (signature bonus). Sebagian jadi komitmen eksplorasi di wilayah dan luar wilayahnya.  Eksplorasi akan menghasilkan discovery untuk menutup kebutuhan migas,” papar Amien.

Triharyo Soesilo, Direktur Proyek Sektor Energi Komite Percepatan Penyediaan Infrastruktur Prioritas (KPPIP) Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian,  mengungkapkan masyarakat Indonesia dan seluruh stakeholder harus menyadari ada target pemenuhan energi yang sudah dicanangkan dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN). Jika target RUEN tidak terkejar maka berbagai potensi masalah juga dipastikan akan lahir dengan sendirinya.

Peningkatan produksi gas misalnya sangat penting untuk memenuhi kebutuhan Liquefied Petroleum Gas (LPG) yang sekarang ini justru sebagian besar dipenuhi dari luar negeri. Saat ini dalam RUEN ditetapkan kebutuhan LPG 6,5 juta ton, 3,5 juta ton dipenuhi dari impor. Sisanya dari dalam negeri.

Menurut Triharyo, Indonesia tidak punya ketahanan terhadap supply LPG. Jika alur distribusi LPG dari Timur Tengah terganggu dalam beberapa waktu maka dipastikan kebutuhan LPG tidak akan terpenuhi ini. Kondisi itu berpotensi menimbulkan kekacauan. “Siapapun presidennya kekacauan pasti terjadi jika kebutuhan LPG tidak terpenuhi,” tandasnya.(RI)