JAKARTA – Kementerian Keuangan meminta Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Hulu Migas (SKK Migas) untuk meningkatkan pengawasan terhadap kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) yang masih menggunakan skema cost recovery. Pasalnya biaya operasi yang harus diganti pemerintah kepada kontraktor terus meningkat dan memberikan beban terhadap Anggaran Belanja Pendapatan Negara (APBN).

Suahasil Nazara, Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan, mengatakan produksi siap jual (lifting) minyak dan gas setiap tahun terus anjlok dalam beberapa tahun terakhir yang otomatis menyebabkan penerimaan negara dari sektor migas juga menurun. Hal itu bertolak belakang dengan jumlah yang harus dibayarkan pemerintah karena selalu melebihi yang sudah diasumsikan dalam anggaran.

“Kita titip ke SKK Migas yang benar-benar mendalami berapa yang di recovery. Situasi yang kita hadapi adalah memang angka cost recovery di APBN beberapa tahun terakhir sering terlewat, yang dibayar negara untuk diganti itu lebih tinggi daripada yang dianggarkan dan diasumsikan,” ungkap Suahasil di Jakarta.

Ia menambahkan negara tidak akan sungkan untuk mengganti biaya operasi dengan catatan ada kompensasi berupa peningkatan produksi dan lifting migas. Namun dalam proses audit, SKK Migas juga tidak boleh lengah dan diharapkan tidak gegabah dalam menentukan item mana saja yang pantas diganti atau tidak.

Mekanisme cost recovery terlebih saat ini tentu memberikan gambaran ketidakefisienan. Karena itu pemerintah mencoba mendorong efisiensi dengan merubah kebijakan kontrak migas menjadi PSC gross split, sehingga ada kepastian berapa penerimaan negara yang akan diterima.

“Kita meminta SKK Migas untuk benar-benar, kalau memang yang harus diganti ya di ganti, tapi jangan jor-joran dan melalui proses audit, proses pemeriksaan, dalam mekanisme procurement, dan supppliernya. Ini yang kita minta ke teman-teman SKK Migas untuk memastikan bisa dilakukan,” tegas Suahasil.

Data SKK Migas menunjukkan masih banyak KKKS yang beroperasi di Indonesia menggunakan skema PSC cost recovery, meskipun skema gross split sudah disiapkan. Hingga 2025, terdapat 52 KKKS yang menggunakan mekanisme cost recovery. Itu artinya pekerjaan SKK Migas untuk meningkatkan pengawasan sangat diperlukan.

Menurut Suahasil, Kementerian Keuangan sebagai lembaga yang mengatur alur masuk dan keluar keuangan negara berharap ada keberlanjutan investasi di sektor hulu migas yang memiliki industri turunan yang tidak sedikit dan berpengaruh besar bagi perekonomian.

“Jadi disaat sekarang harga minyak lagi turun, seperti ini kami ingin memastikan industri ini tetap bergerak,” kata dia.

Komaidi Notonegoro, pengamat migas dari Reforminer Institute, mengatakan kebijakan pemerintah saat ini adalah mengarah kepada efisiensi dan berkeadilan, namun parameter keadilan dalam berusaha ini yang hingga sekarang tidak sama dengan para pelaku usaha.

“Kondisi sektor migas dan perekonomian Indonesia, mungkin ini membuat pemerintah seolah-olah lihat sektor migas tidak menarik lagi,” kata dia.

Menurut Komaidi, berbagai kebijakan pemerintah yang ada saat ini dinilai sebagai solusi untuk menghadapi permasalahan jangka pendek dengan parameter penerimaan negara, neraca pembayaran dan tidak melihat secara utuh perekonomian nasional. Pada kenyataannya struktur dari ekonomi Indonesia saat ini dibanding 1980-an mengalami pergeseran yang cukup besar.

Jika dulu industri extractive pertanian dan pertambangan yang jadi andalan, saat ini sektor lain justru memberikan kontribusi lebih besar. “Artinya kebutuhan energi semakin besar, sehingga kalau tidak hati-hati melihat perang sektor pertambangan ini akan mengancam, karena kebutuhan akan semakin besar,” tandas Komaidi.(RI)