JAKARTA – Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas (SKK Migas) diminta memperbaiki data biaya operasi yang bisa dikembalikan (cost recovery) untuk alokasi penanganan limbah pengelolaan blok migas. Penanganan limbah oleh kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) masih belum maksimal, padahal jumlahnya cukup besar dan harus dibayarkan negara kembali ke KKKS.

Mulyadi, Wakil Ketua Komisi VII DPR, menyatakan sampai saat ini masih ada kerancuan data yang dilaporkan pemerintah kepada komisi VII terkait penanganan limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3), terutama untuk tanah yang terkontaminasi minyak.

“Kami meminta Kementerian ESDM dan SKK Migas untuk melengkapi data-data cost recovery 2015, 2016 dan 2017, termasuk data volume dan alokasi anggaran untuk penanganan limbah B3 di masing-masing KKKS,” kata Mulyadi usai rapat kerja dengan Kementerian ESDM dan SKK Migas di Jakarta, Rabu (14/12) malam.

Selain data cost recovery, SKK Migas diminta untuk mengkaji sistem pengadaan barang dan jasa yang dilakukan oleh KKKS untuk 2017.
“Mulai 2017 SKK Migas mengembalikan sistem pengadaan barang dan jasa yang dilakukan KKKS hanya untuk nilai pekerjaan di bawah US$5 juta,” kata Muyadi. 

DPR juga meminta klarifikasi adanya komponen penggunaan kapal operasional yang jumlah anggarannya dinilai sangat besar dan belum ada laporan jelas terkait peruntukan pemakaian kapal tersebut.

M.I. Zikrullah, Wakil Kepala SKK Migas, menyatakan penggunaan kapal bantuan operasional oleh KKKS bertujuan untuk pengangkutan hasil minyak dari lapangan-lapangan offshore serta untuk studi lapangan. “Jadi kan ada berbagai aktivitas seperti seismik yang menggunakan kapal,” katanya.

Pengawasan terhadap SKK MIgas terkait dana yang digunakan KKKS memang terus ditingkatkan pengawasannya. Hal ini sebagai respon adanya laporan keuangan SKK Migas 2015 yang mendapatkan opini tidak wajar dari Badan Pemeriksa Keuangan.(RI)