JAKARTA – Pemerintah boleh saja beranggapan skema kontrak bagi hasil (production sharing contract/PSC) gross split tidak serumit menggunakan cost recovery, namun tidak demikian bagi kontraktor kontrak kerja sama (KKKS). Penerapan gross split sebagai skema baru dalam kontrak wilayah kerja minyak dan gas di Indonesia dinilai memiliki kompleksitas. Jika pada skema cost recovery perdebatan terjadi saat dilakukan audit pengembalian biaya operasi, untuk gross split perdebatan berpotensi terjadi saat penentuan pemberian split yang dijanjikan pemerintah.

“Gross split mungkin sederhana, tapi pada awal negosiasi akan lebih kompleks memerlukan pertimbangan kandungan H2S (hidro sulfida) dan lainnya. Ini untuk menentukan insentif. Ada kompleksitas tersendiri. Kami melihat aspek-aspek itu ketika ditawarkan blok baru,” kata Erwin Maryoto, Vice President Public and Government Relations ExxonMobil Indonesia saat ditemui di Jakarta, Selasa (24/1).

Menurut Erwin, skema gross split memang terlihat sederhana karena tidak melalui proses audit, namun ketika diimplementasikan tetap harus melalui tahapan diskusi, terutama saat penentuan pemberian insentif split tambahan kepada kontraktor berdasarkan variabel yang ditentukan.

Kontraktror pasti akan kembali berpikir jika ingin mengajukan pengelolaan kontrak baru, karena berbagai aturan yang selama ini dikenal di industri migas tanah air berubah cukup cepat. Apalagi sistem ini juga turut memasukan nilai penurunan nilai dana alokasi pengadaan dan pembelian aset yang dianggarkan dalam suatu perusahaan.

“Terkait depresiasi capital tentu berpengaruh. Ini akan ditentukan dalam kontrak. Kalau gross split ini depresiasi sepanjang umur PSC. Ini pertimbangan ketika mengambil keputusan, apakah berpartisipasi dalam penawaran blok yang ada,” ungkap Erwin.

Arividya Novianto, Presiden dan General Manager Total E&P Indonesie menilai masih terlalu awal untuk bisa menentukan keberhasilan atau keefektifan skema gross split. Pemerintah pun diminta menyempurnakan aturan main dalam skema tersebut karena masih ada beberapa celah yang bisa diperdebatkan ke depan dan justru akan membuat proses negosiasi kontrak menjadi panjang.

“Saat ini masib terlalu dini untuk membahas itu, masih perlu ada kelengkapan yang lebih jauh dari permen itu sendiri bagaimana perhitungan biaya dan lainnya,” kata dia.

Pri Agung Rakhmanto, pengamat energi dari Universitas Trisakti, mengatakan niat pemerintah untuk menyederhanakan proses dari cost recovery akan sulit dicapai karena birokrasi di dalam pengaturan dan pengawasan masih tetap sama seperti ketika PSC cost recovery diterapkan. Apalagi dengan keharusan kontraktor masih tetap mengajukan rencana pengembangan lapangan, anggaran dan sebagainya.

“Ini kan juga tidak konsisten. Sederhananya, kalau gross split, ya pemerintah yang penting menerima hasil finalnya saja, tidak lagi repot dalam perencanaan dan segala administrasinya,” kata dia.

Menurut Pri, kerumitan juga bisa terjadi dalam penentuan tambahan atau pengurangan split. Banyak variabel yang tidak mudah ditentukan dan harus dimonitor setiap saat seperti kandungan H2S, CO2, TKDN, hingga variabel harga minyak.
“Jadi tujuan untuk menyederhanakan administrasi dan birokrasi dalam hal ini, yang menjadi keunggulan utama dari gross split, tidak akan tercapai,” tandasnya.(RI)