Kampanye PLN BersihMEDAN – Karena konsisten menerapkan sistem yang menghindarkan karyawan dari kemungkinan penyuapan, PT PLN (Persero) dijadikan contoh gerakan anti korupsi. Lewat upayanya tersebut, perusahaan strum plat merah ini dapat menghemat pengadaan hingga puluhan miliar rupiah.  

Direktur Utama PLN, Nur Pamudji pun diminta hadir untuk memberikan paparannya, dalam sebuah workshop international anti korupsi dan gratifikasi, yang digelar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Transparency International Indonesia (TII) di Medan, Senin – Selasa, 24 – 25 Juni 2013.

Hadir juga sebagai narasumber dalam workshop tersebut, sejumlah pimpinan korporasi baik Badan Usaha Milik Negara (BUMN) maupun swasta seperti Pertamina, Unilever, Bristish Petrolium Indonesia, dan Earnst & Young Indonesia yang menyampaikan isu pemberantasan korupsi terkait pemberian suap dan uang pelicin.

Workshop yang merupakan bagian dari aktifitas kelompok kerja Anti Korupsi dan Transparansi dari negara-negara yang tergabung dalam APEC (Asia Pacific Economic Cooperation) ini mengangkat tema besar “Strengthening Integrity through Public Private Partnership : Preventing Facilitation Payments and Managing Gratuities”.

Nur Pamudji memaparkan, PLN adalah perusahaan besar yang tiap tahun membelanjakan uang hingga Rp 50 triliun. Situasi ini sangat berpotensi memunculkan tindak korupsi, baik skala besar maupun kecil. Skala besar dalam hal pengadaan barang dan jasa, skala kecil dalam hal pelayanan pelanggan, seperti tidak transparannya biaya transaksi listrik.

Nur Pamudji menyatakan bahwa sebagai upaya mencegah dan memberantas korupsi kecil harus ada pernyataan dari pimpinan perusahaan bahwa korupsi kecil itu dilarang. Bahwa menerima suap itu korupsi. “Pernyataan (larangan) ini sudah dimulai pada saat pak Dahlan Iskan memimpin PLN tahun 2010,” ujarnya.  

Selanjutnya, kata Nur, PLN membangun sistem yang membuat pelanggan sebisa mungkin tidak bertemu dan bertatap muka dengan pegawai PLN. Namanya Contact Center PLN 123 (CC PLN123). “Mengapa namanya 123? Karena bila kita punya pesawat telepon diputer 123 akan nyambung ke CC PLN123. Dimana saja diseluruh Indonesia pasti nyambung ke CC PLN” jelas Nur.

Semua kebutuhan sambung baru dan tambah daya itu dilayani melalui CC PLN 123, sehingga tidak perlu ada kontak muka dengan petugas PLN. Untuk yang memiliki akses internet, PLN juga menyediakan akses khusus pengguna internet.

Tentang pembayaran listrik dan pembayaran layanan, dulu pelanggan bayar melalui loket-loket PLN. Sekarang loket tersebut sudah dihapus. Begitu pelanggan telepon ke PLN, dia akan mendapat kode nomor layanan, kemudian pelanggan pergi ke ATM atau bank dengan menyebut kode itu maka pembayaran terkait transaksi listrik itu bisa dilakukan. Karena kita membayar lewat ATM atau bank maka angka rupiah yang harus dibayar pasti.

“Kalau sambung baru listrik nilainya 600 ribu rupiah ya angkanya 600 ribu rupiah, nggak bisa diubah-ubah karena itu ada di ATM dan ada di bank”, tegas Nur. Efek dari sistem ini, pelanggan menjadi tahu dan menutup peluang untuk memberikan suap atau pelicin kepada petugas PLN.

Logo PLN Bersih

Selanjutnya, Nur Pamudji menjelaskan bahwa inisiatif pemberantasan korupsi di PLN juga disimbolkan dengan logo PLN Bersih No Suap. Sebagai pesan yang sangat jelas ditujukan kepada para pegawai PLN dan para stakeholder PLN bahwa PLN bertekad dan berniat menegakkan anti korupsi.

“Logo ini kita cantumkan dimana-mana di kantor PLN, mudah-mudahan bisa mengingatkan pegawai PLN sendiri atau pelanggan PLN, untuk tidak memberikan gratifikasi dan pegawai PLN untuk tidak menerima gratifikasi,” ungkapnya.

Terkait korupsi pada proses pengadaan barang dan jasa, Nur Pamudji mengaku lebih suka menyebutkannya dengan istilah inefisiensi. “Saya susah menyebutkan korupsi atau bukan korupsi. Karena kalau dilihat secara legal semua aturan dipenuhi, tetapi harga barang dan jasa yang didapatkan perusahaan menjadi lebih mahal,” ujarnya.

Nur berkisah, sebuah email dari bank Dunia menyatakan bahwa harga trafo yang dibeli PLN, masih jauh lebih mahal dari harga barang sejenis, yang dibeli oleh perusahaan listrik di negara-negara ASEAN seperti Phililipa, Singapura atau Vietnam.

Setelah diselidiki, ternyata prosedur di PLN membolehkan pembelian barang melalui perusahaan-perusahaan kecil. Padahal yang dibeli jelas-jelas barang teknik seperti trafo. “Perusahaan-perusahaan kecil yang menjual barang-barang teknik ke PLN itu, kadang-kadang kantornya pun nggak ada. Yang kantornya hanya sebuah tas saja. Ini tidak pantas”, ungkap Nur.

Kemudian PLN mengubah tata cara pengadaan trafo, membeli dari pabrik trafo seperti Siemens atau Alstom. Sekitar tahun 2010, dengan menerapkan cara baru ini, harga pembelian trafo turun menjadi setengahnya.

“Dari 110 milyar turun menjadi 67 milyar rupiah saja per buah, hanya dengan mengubah cara belinya saja. Tapi kalau KPK mengecek apakah harga yang 110 milyar itu melanggar aturan, tidak Pak, semuanya memenuhi aturan, tata caranya bagus. Tetapi hasilnya mahal. Yang 67 milyar ini juga sama-sama memenuhi aturan,” paparnya.

Akhirnya, direksi memutuskan semua pengadaan di PLN harus menggunakan cara seperti ini. Dan harga trafo tersebut saat ini hanya Rp 40 milyar. “Jadi hanya sepertiganya, hanya dengan mengubah tata cara pengadaan,” urai Nur Pamudji.

(Iksan Tejo / duniaenergi@yahoo.co.id)