SEPTEMBER Ceriaaa…, penggalan lirik dari lagu berjudul September Ceria yang dilantunkan si burung camar, Vina Panduwinata ini rasanya cocok sebagai back sound menemani penantian awak media yang memenuhi Gedung Sarula Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), pada Kamis sore (27/9).

Bukan tanpa alasan para pemburu berita sesaki aula di markas regulator sektor energi tersebut. Ada momen bersejarah di dunia pertambangan mineral nasional, yakni penandatanganan Sales Purchase and Agreement antara Freeport-McMoRan Inc dengan PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum).

Ignasius Jonan, Menteri ESDM bertindak sebagai tuan rumah ditemani dua menteri perempuan yang mempunyai kuasa dan berkepentingan dalam negosiasi perpanjangan kontrak Freeport, Rini Soemarno, Menteri BUMN dan Sri Mulyani, Menteri Keuangan. Ketiganya ditunjuk Presiden Joko Widodo untuk mengawasi proses negosiasi perpanjangan kontrak dan divestasi 51% saham PT Freeport Indonesia oleh Inalum.

Budi Gunadi Sadikin, Dirut Inalum disaksikan Richard Adkerson, CEO Freeport-McMoRan, Menteri ESDM Ignasius Jonan dan Menteri Keuangan Sri Mulyani menandatangani nota kesepakatan Inalum dengan Freeport.

Bos Freeport-McMoRan, Richard Adkerson hadir dengan didampingi Direktur Utama Inalum, Budi Gunadi Sadikin. Jonan, Rini dan Sri Mulyani sempat salah tingkah sebelum akhirnya sadar menjadi jadi pusat perhatian, sehingga berganti dengan bersenda gurau sebelum pelaksanaan penandatanganan. Maklum saja, setelah 10 menit mereka memasuki, rangkaian acara tidak kunjung dimulai.

Cerita menarik dibalik momen penantian tersebut adalah kabar bahwa dokumen perjanjian baru saja dicetak tepat dibelakang Gedung Sarulla sebelum penandatanganan.

Jonan dengan tegas mengatakan penandatanganan SPA sebagai jembatan kepastian perpanjangan kontrak Freeport Indonesia untuk melakukan kegiatan operasi di Papua hingga 2041.

“Setelah ini kami menunggu, Freeport Indonesia mengirimkan surat kepada Kementerian ESDM untuk memohon perubahan pemegang saham. Lalu, setelah itu kami terbitkan pengakhiran Kontrak Karya dan menjadi IUPK (Izin Usaha Pertambangan Khusus),” ungkap Jonan.

Pasca Divestasi

Proses divestasi hampir rampung karena sudah dengan kesepakatan SPA, bisa dikatakan proses negosiasi sudah mendekati garis finish. Divestasi adalah poin utama dari perpanjangan kontrak Freeport.

Namun kemudian timbul pertanyaan sederhana, lalu setelah divestasi apa? Setelah Inalum menguasai saham mayoritas Freeport sebesar 51% apa? Siapa yang bisa menjamin keputusan kembali memperpanjang kontrak Freeport di Papua akan memberikan dampak positif bagi masyarakat, khususnya di Papua?

Selama ini pemerintah mengklaim perubahan skema kontrak dari KK menjadi IUPK akan ada perbedaan perlakuan fiskal, sehingga bisa memberikan pendapatan lebih banyak melalui perpajakan maupun pembayaran royalti. Lalu apa itu semua dirasakan juga oleh masyarakat Papua?

Gus Irawan Pasaribu, Ketua Komisi VII DPR, mengaku heran dengan alur negosiasi pemerintah dengan Freeport karena setelah menguasai saham mayoritas, perubahan manajemen dipastikan tidak akan dilakukan.

Sesaat setelah penandatanganan SPA, Adkerson dengan mantap menjawab pertanyaan awak media terkait manajemen yang tidak akan berubah dengan alasan menjaga kestabilan operasional. Dia hanya menjanjikan akan ada kemitraan yang baik dengan Inalum setelah divestasi terjadi.

“Tidak (ada perubahan manajemen), kami sudah setuju, ini penting untuk menjaga kesinambungan operasi,” ujar Adkerson.

Pernyataan ini menurut Gus Irawan sangat disayangkan, karena logikanya pemilik saham mayoritas wajar mengendalikan penuh operasional sebuah perusahaan. Dengan penguasaan manajemen dan operasional maka ada kontrol jelas guna memastikan manfaat operasi Freeport di bumi Cenderawasih.

“Harusnya berikut dengan operatorship, kan lucu mayoritas tapi tidak punya kendali,” ungkap dia.

Truk keluar dari tambang bawah tanah Grasberg di Papua yang dikelola Freeport,

Menurut Gus Irawan, jika yang menjadi alasan pemerintah adalah kompetensi sumber daya manusia, alasan itu tidaklah tepat karena kompetensi ahli tambang tanah air memiliki kualitas yang tidak kalah dengan ahli tambang di dunia.

Pemerintah pusat juga telah menjanjikan, setelah divestasi ini ada jatah 10% saham Freeport Indonesia menjadi hak pemerintah provinsi Papua dan pemerintah kabupaten Timika. Porsi 10% untuk daerah akan dibagi menjadi tiga persen untuk Pemerintah Provinsi Papua dan tujuh persen lainnya merupakan jatah Pemerintah Kabupaten Mimika.

Neles Tebay, Koordinator Jaringan Damai Papua, dan Ketua STFT Fajar Timur, mengatakan kesejahteraan menjadi bukti nyata kontribusi sebuah perusahaan masuk dan beroperasi termasuk di wilayah Papua.

Manfaat keberadaan Freeport di tanah Papua seharusnya bisa terasa langsung dirasakan, terutama untuk suku Amungme dan Kamaro yang secara adat menjadi pemilik sah lahan yang menjadi wilayah Freeport beroperasi dan mengeruk kekayaan.

Selama ini manfaat yang didapatkan kedua suku hanya masih berupa kegiatan Corporate Social Responsibility (CSR). Adapun manfaat ekonomi paling bagus hanya berupa sebagai pekerja kasar.

“Yang paling pokok masyarakat Papua itu Kamoro dan Amungme itu partisipasi mereka dalam pengambilan keputusan, kalau ada operator dan konduktor. Mereka mau jadi konduktor ini. Sehingga tidak jadi operator saja,” ungkap Neles Tebay.

Menurut dia, masyarakat lokal punya hak untuk ikut dilibatkan dalam pembahasan strategic planning. Tentu tidak instan begitu saja, tapi perlu masyarakat yang memiliki kompetensi. Disitulah peran Freeport membentuk kompetensi masyarakat lokal.

Pelibatan masyarakat lokal dalam kegiatan operasional, termasuk perencanaan strategis diperlukan. Apalagi ketika berbicara tentang dampak lingkungan dari kegiatan pertambangan Freeport. Kedua suku tersebut menjadi yang terdepan menerima segala konsekuensi dari pengerukan kekayaan bumi Papua.

“Kontrak-kontrak selama ini tidak dilibatkan. Bagaimana mau tahu kalau tidak dilibatkan. Aspek lingkungan hidup itu dampak negatifnya ke Kamoro dan Amungme,” katanya.

Aliran Dana

Divestasi memang jadi barang empuk, karena ada aliran dana dalam jumlah sangat besar. Apalagi untuk divestasi Freeport tersebut aliran dana mencapai US$3,85 miliar.

Pemerintah berulangkali diwanti-wanti agar tidak jatuh dalam jurang yang sama seperti proses divestasi PT Newmont Nusa Tenggara beberapa tahun lalu.

Pada kasus Newmont, divestasi yang seharusnya memberikan manfaat kepada masyarakat lokal Sumbawa Barat, Nusa Tenggara Barat (NTB) justru tidak terjadi sama sekali karena pihak swasta yang akhirnya tersenyum menikmati aliran dana divestasi.

Newmont akhirnya jatuh ke tangan swasta yang dekat dengan rezim berkuasa saat itu. Di pemerintahan lalu, perusahaan milik Aburizal Bakrie, Ketua Umum Partai Golkar ketika itu, mengambil saham Newmont setelah menggandeng Pemda yang membentuk Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). Namun tanpa disangka kerja sama perusahaan swasta dan daerah hanya kedok untuk mendapatkan dana segar lainnya yang akhirnya hanya dinikmati swasta, karena saham yang didapatkan oleh perusahaan Bakrie grup yakni PT Multicapital bersama dengan perusahaan bentukan Pemda NTB PT Multi Daerah Bersaing (MDB) justru kembali dijual.

Kini Newmont yang berganti nama menjadi Amman Mineral Nusa Tenggara dikuasai Medco Group, perusahaan milik Arifin Panigoro.

Maryati Abdullah, adalah Koordinator Nasional di Publish What You Pay Indonesia menuturkan setelah divestasi maka harus ada optimalisasi dua fungsi yang dimiliki pemerintah melalui Inalum. “Fungsi pemerintah sebagai pembuat kebijakan maupun sebagai korporasi, jadi tangan korportasi pemerintah melalui Inalum,” ungkap Maryati kepada Dunia Energi, Minggu (7/10).

Kondisi Freeport sebelum proses negosiasi maupun divestasi sebenarnya sudah dibebankan berbagai syarat dan kewajiban. Maka tidak ada alasan setelah divestasi nanti berbagai kewajiban itu tidak dipenuhi. Disanalah peran Inalum sebagai perwakilan pemerintah bisa memastikan Freeport menjalankan kewajibannya. Termasuk dengan dengan pembangunan fasilitas pemurnian dan pengolahan atau smelter.

Maryati berharap dengan adanya smelter maka kegiatan penambangan Freeport bukan hanya dari sisi emas saja tapi juga tembaga yang bisa men-drive pengembangan industri dalam negeri. Apalagi dengan pertumbuhan industri yang saat ini sedang dikejar maka kebutuhan tembaga juga turut meningkat.

“Kalau kita lihat kebutuhan tembaga dengan pembangunan infrastruktur pengembangan industri dalam negeri sangat dibutuhkan, jadi tidak lagi kita menjual sebagai konsentrat tapi bagaimana selain murni di dalam negeri, industri itu berkembang,” ungkap Maryati.

Kemudian kontrol Inalum melalui kepemilikan saham ini juga harus dioptimalkan dalam kontrol korporasi dalam hal ini bagaimana memastikan Freeport Indonesia mematuhi standar operasi yang ada, termasuk melaksanakan hak-hak kewajiban tenaga kerja lingkungan hidup dan sosial.

Dengan adanya fungsi kontrol dengan kepemilikan 51% saham maka pemerintah harus dapat menegaskan ke Freeport agar kehadirannya memberikan manfaat bagi warga lokal. Salah satu jalannya adalah Freeport harus menampung local content.

Dengan adanya kewajiban PI 10% ke daerah maka itu bisa digunakan untuk mendesak peran daerah dalam tata kelola Freeport, dan manfaat bagi masyarakat sekitar secara tidak langsung.

“Misalkan rantai suplai kegiatan Freeport, apakah suplai bahan makanan, angkutan, tenaga kerja dan sebagainya,” ujarnya.

Selain itu juga diperlukan sinergi antara Freeport dan pemerintah daerah. Berbagai program CSR yang digalakan perusahaan harus bisa sinkron dengan program pemberdayaan masyarakat milik pemerintah daerah agar tujuan dari program Pemda maupun kehadiran Freeport bisa benar-benar terwujud.

“Bagaimana kembangkan ekonomi lokal yang bersinergi dengan rencana pembangunan di daerah. Jadi harus bersinergi, dari sisi Freeport harus ada komitmen untuk menjalankan lokal content,” tegas Maryati.(Rio Indrawan)