JAKARTA – Stok gas alam CAIR (Liquefied Natural Gas/LNG) di Indonesia pada tahun ini diperkirakan akan kembali kelebihan pasokan. Data yang dirilis Wood Mackenzie mengungkapkan penurunan konsumsi atau serapan LNG domestik yang tidak optimal membuat alokasi untuk domestik yang diprioritaskan dan didorong pemerintah justru menjadi tidak maksimal.

Edi Saputra, Senior Analyst Wood Mackenzie, mengatakan pada tahun ini produksi LNG di Indonesia diprediksi mencapai 18,5 juta ton. Produksi tersebut berasal dari kilang Bontang sembilan juta ton, kilang Tangguh tujuh juta ton dan 2,5 juta ton dari kilang Donggi-Senoro.

“Committed itu untuk pasar ekspor 12,5 juta ton ke pembeli Asia Timur, seperti Taiwan, China dan ada sisa enam juta ton ini kebutuhan pasar domestik,” kata Edi disela-sela Executive Committee Gas Indonesia Summit & Exhibition (GIS) 2018 di Jakarta, Jumat (16/3).

Pasokan LNG yang melimpah tidak bisa diserap seluruhnya karena dalam proyeksi kajian Wood Mackenzie, serapan domestik maksimal hanya mencapai 2,8 juta ton. Sisanya masih ada sekitar 3,2 juta ton LNG masih uncommitted.

“Maka ada surplus 3 juta-4 juta ton itu terlalu besar untuk pasar spot LNG, jadi tahun ini surplus LNG lagi,” kata Edi.

Ada beberapa faktor yang menyebabkan LNG kelebihan pasokan,  seperti tidak diperpanjangnya kontrak ekspor LNG ke Korea Selatan maupun Jepang.

Niat pemerintah yang tidak memperpanjang kontrak tersebut agar serapan domestik meningkat tidak berjalan lancar lantaran ketersediaan infrastruktur masih terbatas. Jika produksi ditahan justru akan memberikan dampak negatif, baik secara teknis maupun non teknis.

“Pengurangan produksi opsi yang tidak direkomendasikan. Itu seharusnya tidak ada opsi dari pemerintah karena  akan hilang revenue bagi pemerintah dan dampak buruk bagi oil and gas operation. Mereka harus menutup valve nanti akan berdampak ke reservoir,” ungkap Edi.

Wood Mackenzie pun memberikan beberapa rekomendasi untuk mengatasi stok LNG yang berlimpah. Untuk mengantisipasi permintaan domestik yang rendah, pemerintah dianjurkan harus fleksibel dan tidak perlu khawatir untuk membuka kembali keran ekspor.

Edi menilai harus ada perubahan mindset untuk memaintance keseimbangan antara pasokan dan penyerapan LNG ke pasar. Masih ada potensi pasar yang cukup besar di luar negeri,terutama di kawasan Asia Pasifik. Pada 2017, dari 290 juta ton  produksi LNG dunia, sekitar 75% diantaranya dipasok  ke kawasan Asia Pasifik. Negara – negara di kawasan Asia Selatan, seperti Bangladesh, Pakistan dan India bisa menjadi target pasar gas Indonesia. Belum lagi dengan China yang diperkirakan pertumbuhan konsumsi gasnya mencapai 15% pada 2018 juga bisa menjadi pasar potensial. Serta juga beberapa negara tetangga.

“Ada Singapura, Thailand dan Vietnam.   Kalau di China itu ada konversi dari pembangkit batu bara,” kata Edi.

Menurut Edi, jika surplus LNG terus terjadi  gap kebutuhan dengan suplai baru akan terjadi sekitar tujuh tahun lagi. Apalagi PT Pertamina (Persero) juga telah terlanjur menandatangani perjanjian pembelian gas dengan Cheniere, Total serta Woodside.

“Kami lihat gapnya baru muncul di 2025. Gap itu untuk kebutuhan impor. Pada 2024 masih ada, jadi ada surplus sampai 2024,” kata dia.

Arif S. Handoko, Sekretaris Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas), mengakui setiap tahun pasokan gas di Indonesia surplus, salah satunya disebabkan serapan domestik yang belum maksimal.

Selain itu, juga ada program pemerintah untuk kebutuhan LNG domestik sehingga SKK Migas ikut mensupport itu dengan tidak memperpanjang kontrak ekspor. Selain itu juga salah satu faktornya adalah belum optimalnya serapan dari pembangkit gas milik PLN.

“Kemungkinan surplus karena tadi, kami dukung kebijakan pemerintah untuk kebutuhan LNG domestik. Masalahnya, serapan PLN masih kurang bagus,” tandas Arif.(RI)