JAKARTA – Pemeritah mangakui adanya sejumlah kendala krusial dalam pelaksanaan mega proyek pembangkit 35 ribu megawatt (MW) yang ditargetkan rampung pada 2019. Salah satu faktor lambatnya pembangunan proyek, selain lamanya proses lelang adalah kompetensi pihak pengembang (independent power producer/IPP) yang tidak sedikit jumlahnya, jauh dari harapan dan standar kualitas yang ditentukan.

 

 

 

 

 

 

“Mengurus PPA cukup lama. Kemudian juga kinerja IPP sendiri,” kata Arcandra Tahar, Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) di Jakarta.

Lebih lanjut dia mengungkapkan dalam lelang beberapa proyek pembangunan pembangkit di Indonesia, penetapan pemenang biasanya ditentukan berdasarkan pada pihak yang memberi penawaran terendah. Padahal hal itu bisa saja membawa pengaruh kepada pekerjaan serta kualitas dari proyek.

“Kalau kita gunakan lowest bidder untuk proyek pembangkit, di saat itu kita melihat kinerja pengembang bisa bagus atau kurang bagus,” kata Arcandra.

Seiring proyeksi pertumbuhan ekonomi 6%-7% per tahun dan penambahan kapasitas listrik di dalam negeri sebesar 7 ribu megawatt (MW) per tahun, pemerintah sangat mengandalkan proyek 35 ribu MW sebagai jalan keluar untuk mencapai tingkat elektrifikasi nasional.

Data Kementerian ESDM mengungkapkan saat ini persentase jumlah kapasitas listrik yang sudah terpasang atau commercial operating date (COD) dalam proyek 35 ribu MW baru sebesar 164 MW atau 1%. Sementara untuk kontrak konstruksi sebesar 24% atau 8.678 MW dan kontrak PPA yang belum konstruksi sebesar 8.641 MW, sehingga masih ada 51% atau 18.135 MW dari proyek belum memiliki kontrak atau PPA.(RI)