BANGUNAN seluas 58 meter persegi beratap seng galvalum dengan dinding bercat hijau itu berdiri kokoh beberapa meter dari bibir  Sungai Tamiang di Desa Pusung Kapal, Kecamatan Seruway, Kabupaten Aceh Tamiang, Nanggroe Aceh Darussalam. Pintu, jendela, dan pilar serta pagar bangunan terbuat dari kayu berwarna putih. Hanya lantai bangunan– juga terbuat dari kayu– dilapisi penutup plastik warna coklat. Belasan kursi lipat berjejer rapi di dalam bangunan. Tampak pula sejumlah poster dan video edukasi terkait pelestarian kura-kura semangka atau dikenal sebagai tuntong laut (Batagur borneoensis).

Bangunan ini adalah Rumah Informasi Tuntong (RIT),  salah satu destinasi wisata pendidikan bagi masyarakat dari ekowisata yang dikelola Kelompok Sadar Wisata Pusung Kapal. Richard Muthalib, Pertamina EP Asset 1 Rantau Field Manager, mengatakan kegiatan ekowisata di Pusung Kapal sejatinya sudah berjalan sejak lama oleh masyarakat, namun belum terorganisasi dengan baik. Baru pada tahun ini dibentuk Kelompok Sadar Wisata Pusung Kapal yang mengelola Rumah Informasi Tuntong dan wisata mangrove sehingga lebih terorganisasi dan tertib.

“Selain tentu saja muncul aspek pemberdayaan masyarakat dalam konservasi tuntong laut yang dilakukan Pertamina bekerja sama dengan Yayasan Satu Cita Lestari Indonesia (YSCLI), Pemerintah Kabupaten Aceh Tamiang, dan Badan Konservasi  Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh,” ujar Richard kepada Dunia-Energi.

RIT Pusung Kapal dibangun oleh Pertamina EP Asset I Rantau Field, unit operasional PT Pertamina EP, kontraktor kontrak kerja sama di bawah koordinasi dan supervisi SKK Migas. Pendirian RIT Pusung Kapal adalah kerja sama Pertamina EP Asset 1 Rantau Field; Musyawarah Pimpinan Kecamatan Seruway; Dinas Pangan, Perikanan, dan Kelautan Kabupaten Aceh Tamiang; dan YSCLI. Presiden Direktur PT Pertamina EP Nanang Abdul Manaf didampingi Kepala BKSDA Nanggroe Aceh Darussalam Sapto Aji Prabowo dan Komandan Kodim 0104 Aceh Timur Letkol Inf Amril Haris Isya Siregar meresmikan RIT Pusung Kapal, Seruway, Rabu (25/10) lalu.

Presiden Direktur Pertamina EP Nanang Abdul Manaf (tengah) memegang tukik, anak tuntong laut (Batagur borneoensis), di sela peresmian peresmian Rumah Informasi Tuntong di Pusung Kapal, Kec Seruway, Kabupaten Aceh Tamiang, Rabu (25/10). (Foto: Dudi Rahman/DE)

Joko Guntoro, pembina Yayasan Satu Cita Lestari Indonesia (YSCLI) dan peneliti tuntong laut, mengapresiasi dukungan Pertamina EP Asset 1 Rantau Field yang memiliki komitmen tinggi dalam pelestarian dan perlindungan keanekaragaman hayati di Aceh Tamiang. Apalagi, sejak 2013, Pertamina EP Asset 1 Rantau Field menjalin kesepakatan kerja sama dengan YSCLI untuk melaksanakan kegiatan konservasi tuntong laut di pesisir pantai Kabupaten Aceh Tamiang.

Kerja sama Pertamina EP Asset 1 Rantau Fild dengan YSCLI dilakukan melalui beragam kegiatan antara lain sosialisasi ke masyarakat dan siswa, menggelar patroli penyelamatan tuntong dan telurnya di saat musim bertelur, serta survei habitat. Selain itu, pengayaan habitat, pembesaran telur tuntong menjadi tukik untuk dilepaskan di habitat aslinya, dan penyediaan dokter hewan. “Bentuk dukungan yang diberikan bukan saja bersifat finansial, namun hal-hal lainnya yang terkait konservasi,” ujar Joko.

Dalam proses meningkatkan populasi satwa tuntong laut sekaligus melestarikannya, YSCLI bersama Pertamina EP Asset 1 Rantau Field serta BKSDA Aceh juga berusaha melengkapi berbagai sarana pendukung, yaitu mengembalikan habitat sebagai tempat hunian satwa berikut bahan makanan pokok tuntong laut. Untuk itu, YSCLI membentuk dua kelompok, yaitu Kelompok Ujung Pantai dan Kelompok Mutiara Pantai. Pada tahap awal, kedua kelompok tersebut telah menyemaikan sebanyak 10 ribu batang pohon berembang (Sonneratia sp ) yang direncanakan oleh YSCLI. Bibit kayu tersebut ditanam disepanjang Daerah Aliran Sungai (DAS) tempat tuntong laut hidup.

“Penanaman pohon berembang merupakan upaya kami untuk mengembalikan dan pemulihan habitat yang telah rusak parah, selain itu buah pohon berembang tersebut juga merupakan makanan utama bagi tuntong laut,” ujarnya di sela peresmian Rumah Informasi Tuntong, Rabu lalu.

Menurut Joko, YSCLI saat ini melakukan kegiatan penelitian, survei, ataupun monitor terkait konservasi tuntong laut di Aceh Tamiang. Hal ini menjadi signifikan mengingat penelitian mengenai tuntong tergolong  minim, bahkan sangat langka di Indonesia. Apalagi, satwa berpunggung baja yang berdasarkan data International Union for Conservation of Nature (IUCN), berada di urutan  ke-25 dari 333 spesies di dunia ini termasuk kategori hampir punah. Kura-kura ini merupakan satu dari sekitar 30-an spesies (native dan non-native) kura-kura air tawar dan darat yang ada di Indonesia. Spesies ini menurut catatan tersebar di Kalimantan bagian barat serta pantai timur Sumatera meliputi Aceh, Sumatera Utara, Riau dan Jambi.

Tuntong laut memiliki warna dominan coklat muda dengan lima cakar di kaki depan. Bagian depan spesies ini memiliki ujung hidung sedikit menjungkit ke atas. Panjangnya dapat mencapai 60-an, lebar sekitar 50-an cm dan berat sekitar 20-an kg. Telur memiliki dimensi panjang sekitar 5 cm dan ketebalan sekitar 3 cm hingga 4 cm. Ukuran betina lebih besar dibandingkan jantan. “Ekor jantan akan lebih panjang dan kecil dibandingkan betina. Tuntong dapat hidup hingga mencapai 60-an tahun,” kata Joko.

Ada dua spesies tuntong, yaitu tuntong laut dan tuntong sungai. Tuntong laut dan tuntong sungai memiliki habitat sama, yaitu hutan mangrove. Namun, tempat bertelur mereka berbeda. “Pada tuntong sungai, saat musim bertelur bergerak ke tepian berpasir di hulu sungai, sedangkan tuntong laut memiliki tempat bertelur sama dengan penyu, yaitu pantai pasir di laut,” ujarnya.

Namun, Joko khawatir dengan kondisi tuntong laut saat ini yang masuk kategori krisis dan menghadapi risiko punah dalam waktu dekat. Apalagi keberadaan tuntong laut sudah jarang sekali ditemui. Hal ini dipicu perburuan liar untuk menjadikan tuntong sebagai hewan peliharaan (pet) maupun juga dikonsumsi. Maklum, telurnya sangat disukai sebagai salah satu bahan pembuat makanan tradisional lokal. “Di kalangan penggemar hewan, jenis tuntong dewasa berumur delapan tahun dapat dihargai dengan kisaran harga hingga belasan juta rupiah,” ujarnya.

Perburuan besar-besaran pada dekade 1990-an—untuk memenuhi permintaan hewan peliharaan di negeri jiran seperti Malaysia dan Thailand– menjadi pemicu kepunahan tuntong laut. Tingkat perburuan yang masif tidak diimbangi daya dukung alam terhadap kemunculan tuntong-tuntong baru. Di sisi lain, proses pertumbuhannya, dari telur hingga dewasa juga cukup lama. Butuh waktu delapan tahun hingga seekor tuntong laut siap bereproduksi dengan menghasilkan 12 hingga 24 telur. Selain itu, telur-telur tersebut membutuhkan suhu stabil dengan kisaran 26 hingga 32 derajat celcius agar dapat benar-benar menetas.

Hingga April 2017, YSCLI bersama mitra telah melampaui target dengan jumlah tukik yang dilepas sebanyak 1.204 tukik. Sepanjang tahun ini, YSCLI dan mitranya berhasil menyelamatkan 26 sarang dan menginkubasi 424 butir telur tuntong laut dengan tingkat keberhasilan penetasan hampir 90 persen.

Menurut Joko, peningkatan jumlah telur yang berhasil ditetaskan itu lantaran metode baru. Awalnya, YSCLI menetaskan secara ex-situ dengan cara memindahkan telur-telur itu ke Kuala Simpang, ibukota Kabupaten Aceh Tamiang. Di daerah ini, YSCLI memiliki fasilitas penetasan dan pembesaran tuntong laut yang juga didukung oleh Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup melalui BKSDA Aceh, Turtle Survival Alliance, dan Pertamina EP Asset 1 Rantau Field. Namun, penetasan ini dinilai berisiko tingi.

“Kemudian kami coba penetasan secara in-situ yang lebih alami karena tidak perlu memindahkan telur ke luar habitatnya. Selain itu, patroli tahun ini berhasil menyingkap lebih banyak sarang dan telur tuntong laut ketimbang tahun-tahun sebelumnya,” jelas dia.

Yusriono, Ketua YSCLI, menambahkan sebagian besar telur tuntong laut dicari pada musim hewan itu bertelur. Namun tidak sedikit juga mereka membeli dari masyarakat yang menemukan sarang tuntong laut. Dalam satu tempat jumlah telur berkisar delapan sampai 23 butir. Yayasan membeli telur tersebut sekitar Rp 15 ribu per butir. Selain membeli dengan harga tinggi, kepada masyarakat yang melaporkan keberadaan telur tuntong juga diberi hadiah tambahan. “Telur yang berhasil dievakuasi ditetaskan menggunakan media kotak gabus yang diisi pasir pantai,” katanya.

Menurut Yusriono, perlu waktu sekitar 75 sampai 120 hari menunggu anak tuntong lepas dari cangkang telur. Namun ada juga telur yang tidak berhasil ditetaskan. Ini diperkirakan karena tidak terbuahi yang mengakibatkan telur menjadi busuk.

“Pelepasliaran anak tuntong laut bisa dilakukan setelah usianya enam bulan dengan ukuran badan sekitar enam hingga delapan cm. Ini untuk memastikan daya tahannya, agar benar-benar kuat saat hidup di alam bebas,” katanya.

Pada awal masa hidupnya tuntong memilih habitat air tawar, sebelum berkembangbiak di air asin. Hewan tersebut pemakan buah berembang yang dihasilkan dari pohon sejenis bakau (mangrove) yang banyak tumbuh di pinggir sungai/alur. Selain itu makanan alami tuntong adalah udang kecil dan pucuk akar nipah.

“Untuk tuntong berusia seminggu cukup diberi pelet, kangkung dan juga puding berupa cincangan udang kecil. Dua minggu sekali rutin dicarikan buah berembang untuk pakan alaminya agar ketika hidup di alam liar tidak merasa asing,” ujar Yusriono.

Tuntong laut dan mangrove memang memiliki keterkaitan yang sangat erat. Bahkan, menurut Joko, tanpa adanya hutan mangrove, satwa ini tidak akan dapat berkembang biak dengan baik di alam liar. Demikian pula sebaliknya, tuntong laut berperan mendukung keseimbangan yang terjadi di ekosistem hutan mangrove.

Tuntong laut berperan sebagai penyebar zat gizi dan nutrisi bagi tumbuhan dan satwa yang bergantung kepadanya. Di alamnya, satwa ini menjadikan tumbuh-tumbuhan bakau (buah, daun muda, akar muda) terutama dari pohon berembang) di tepi sungai sebagai makanannya. Kotoran (fesces) tuntong laut yang ada di air sungai menjadi sumber makanan/gizi bagi binatang-binatang kecil lainnya seperti ikan, kepiting dan udang serta pupuk bagi pohon mangrove. Binatang-binatang kecil ini dimakan oleh binatang yang lebih besar seperti ikan kakap dan kerapu.

Pohon mangrove berfungsi juga sebagai penahan laju abrasi (pengikisan pasir pantai oleh air laut), pelindung dari tsunami, pelindung agar air laut (asin) tidak sampai merembes ke sumber air tanah di wilayah ke pemukiman, dan penyerap zat karbon (zat yang membuat bumi semakin panas). “Kendati hanya bagian kecil dari alam, tuntong laut sangat berperan penting menjaga keseimbangan alam dan membantu manusia mendapatkan sumber makanan perikanan air payau seperti ikan, kepiting dan udang,” jelas Joko.

Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Nanggroe Aceh Darussalam Sapto Aji Prabowo (kiri) menyentuh tuntong laut (Batagur borneoensis) yang dikelola oleh Yayasan Satu Cita Lestari Indonesia. Tampak mendampingi, Presiden Direktur Pertamina EP Nanang Abdul Manaf (kedua dari kiri) dan Komandan Kodim 0104 Aceh Timur Letkol Inf  Amril Haris Isya Siregar  (paling kanan) saat peresmian RIT Pusung Kapal, Seruway, Rabu (25/10). (Foto: Dudi Rahman/DE)

 

Dukungan Konservasi

Nanang Abdul Manaf, Presiden Direktur PT Pertamina EP, mengatakan  Pertamina EP memiliki komitmen yang masuk dalam visi dan misi perusahaan terkait dengan tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan. Di setiap wilayah operasi Pertamina di Tanah Air, termasuk di Aceh Tamiang, salah satu wilayah operasi Pertamina EP,  seluruh karyawan Pertamina memiliki visi dan misi yang sama dalam pemberdayaan masyarakat dan lingkungan sekitar wilayah operasi.

“Khusus di Rantau ini, selain kegiatan pemberdayaan ekonomi masyarakat, kami juga sangat peduli pada masalah lingkungan. Salah satunya bersama masyarakat, LSM, dan pemerintah daerah,  melakukan konservasi tuntong laut dan penanaman mangrove,” ujar Nanang.

Menurut dia, spesies tuntong laut saat ini mengalami penurunan populasi dan hampir punah akibat kerusakan ekosistem mangrove yang menjadi habitatnya. Dengan demikian, perlu upaya pencegahan, penanggulangan, dan pembatasan kerusakan yang disebabkan oleh manusia, alam, spesies invasif, hama dan penyakit.

“Upaya pelestarian spesies tuntong laut yang memiliki status sangat terancam punah (critically endangered) dalam daftar merah IUCN beserta ekosistemnya merupakan tanggung jawab dan kewajiban bersama pemerintah, swasta, dan masyarakat,” katanya.

Nanang sepakat dengan langkah yang dilakukan YSCLI, mitra Pertamina EP, dalam pelestarian spesies tuntong laut secara komprehensif, baik in-situ maupun ex-situ. Langkah yang bisa dilakukan antara lain pemantauan/monitoring dan peningkatan populasi, pengembangan dan peningkatan dan kapasitas sumber daya manusia.Upaya lainnya adalah perbaikan habitat, pemberdayaan masyarakat di sekitar habitat, pembangunan, perbaikan, dan pengembangan fasilitas pendukung yang bersifat sementara atau permanen. “Ini menjadi komitmen kami Pertamina EP yang sudah kami rencanakan dalam program kerja aspek pelestarian dan perlindungan keanekaragaman hayati,” katanya.

Pertamina EP, tambah Nanang, mengapresiasi seluruh komitmen yang diberikan oleh masing-masing pihak, antara lain komitmen dari YSCLI sebagai local hero karena LSM satu-satunya yang bergerak di bidang pelestarian konservasi dan ekosistem tuntong laut di Aceh Tamiang yang secara perlahan bisa mengubah kebiasaan masyarakat lokal yang pada awalnya memburu telur dan daging tuntong menjadi pejuang-pejuang yang menjaga kelestariannya.

Selain itu komitmen lainnya juga diwujudkan Pemerintah Kabupaten Aceh Tamiang dengan terbitnya Qanun No 3 Tahun 2016 tentang Perlindungan Spesies Tuntong Laut yang sangat didukung Pertamina EP agar ke depannya menjadi landasan daerah lainnya untuk menetapkan peraturan-peraturan sejenis.

Sapto Aji Prabowo, Kepala BKSDA Aceh, memuji kerjasama yang sangat baik Pertamina EP, pemerintah daerah, BKSDA serta YSCLI dalam perlindungan dan pelestarian tuntong laut di Aceh Tamiang. Kerja sama tersebut diharapkan berlanjut demi pengembangan sistem konservasi dan pemberdayaan, apalagi ke depan kawasan Seruway bisa menjadi ekowisata tuntong laut dan mangrove.

“Persebaran tuntong laut ada di beberapa daerah di Indonesia, tapi yang concern untuk perlindungan dan pelestarian salah satunya ada di Aceh Tamiang. Ini luar biasa,” ujarnya.

Sapto berharap, konservasi mangrove dan tuntong laut di Pusung Kapal bisa menjadi pusat ekowisata. Bila terealisasi, hasilnya akan memberikan dampak positif bagi kesejahteraan masyarakat. Namun, untuk mewujudkan ekowisata Aceh Tamiang memang tak semudah membalik telapak tangan. Apalagi potensi juga ada. Di sepanjang aliran Sungai Tamiang ada sejumlah fauna lain selain tuntong laut, yaitu burung, buaya, monyet, dan hewan lain.. “Dengan kebersamaan dan komitmen yang diteken bersama 5 Oktober 2017, kita bisa dorong ekowisata bermanfaat untuk masyarakat Aceh Tamiang,” ujarnya.

Sapto menegaskan, saat ini adalah konservasi era baru: konservasi ala Indonesia. Konservasi yang menempatkan subjek selain ada kolaborasi pemerintah daerah, perusahaan, dan lembaga swadaya masyarakat. “Ketika kolaborasi, upaya memajukan konservasi akan terwujud, tanpa kita harus menebang hutannya, membunuh satwanya,” ujarnya.

Risna Resnawaty, pakar corporate social responsibility (CSR), menilai pelaksanaan CSR secara umum biasanya fokus pada masalah pemberdayaan masyarakat. Namun, beberapa tahun terakhir bentuk CSR mulai bergeser pada perlindungan dan penyelamatan bumi, termasuk perlindungan satwa langka. PT Pertamina EP, melalui unit operasinya Pertamina EP Asset 1 Rantau Field, merupakan perusahaan yang sangat peduli terhadap perkembangan ekosistem. “Mangrove dapat mengatasi disaster, sedangkan perlindungan keanekaragaman hayati termasuk satwa langka seperti tungong laut dapat memberikan kontribusi terhadap keberlanjutan spesies, pengembangan ilmu, dan pengembangan obat-obatan,” ujarnya kepada Dunia-Energi.

Ketua Program Studi Ilmu Kesejahteraan Sosial FISIP Universitas Padjadjaran, Bandung ini mengatakan perlu evaluasi pencapaian tujuan yang diharapkan. Konservasi terhadap satwa langka seperti tuntong laut adalah program yang sangat baik. Namun, yang perlu diperhatikan adalah bagaimana capaian program tersebut. “Dalam koridor CSR tentu perlu dipertimbangkan jika program selaras dengan visi dan misi perusahaan, serta membawa manfaat yang besar bagi masyarakat luat sebaiknya program tersebut terus berlanjut,” ujarnya.

Tuntong laut memang harus diselamatkan. Betul, tidak ada dampak langsung bagi lingkungan lain ketika habitat tuntong laut punah. Hanya saja akan putus siklus atau satu mata rantai makanan di alam jika salah satu spesiesnya hilang. Perlu satu cita untuk untuk menjaga kelestarian kura-kura semangka. (DR)