JAKARTA – Saksi dalam persidangan perkara dugaan tindak pidana korupsi pada proyek bioremediasi PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) untuk terdakwa Widodo, mempertanyakan barang bukti yang disampaikan penyidik Kejaksaan Agung ke Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).

Pertanyaan itu terlontar dalam sidang kasus bioremediasi di Pengadilan Negeri Tipikor Jakarta Pusat, Senin, 1 Maret 2013. Fepy Sepyana, saksi yang merupakan karyawan PT Green Planet Indonesia (GPI), menyatakan bahwa data invoice yang diserahkan penyidik ke Majelis Hakim tidak lengkap seperti yang telah ia serahkan ke penyidik sebelumnya.

Menurutnya, data invoice PT GPI ke PT CPI tersebut tidak secara lengkap melampirkan analisis laboratorium PT CPI dan laboratorium pihak ketiga. “Padahal analisis itu merupakan dasar invoicing kami,” kata Fepy.

Menurut Fepy, barang bukti analisis yang disampaikan penyidik hanya untuk siklus ketujuh di Kontrak 6841 antara PT GPI dan PT CPI, sementara ia telah menyerahkan data analisis untuk seluruh siklus ke Kejaksaan Agung. “Kalau 6841 itu siklusnya tujuh untuk masing-masing SBF (Soil Bioremediation Facility), itu analisis laboratoriumnya banyak,” ujar Fepy.

Dalam persidangan, Fepy menyatakan telah tiga kali menyerahkan data yang sama secara lengkap ke dua penyidik yang berbeda, yaitu Peter Sahanaya dan Frankie Son. “Ke Pak Peter satu kali dan Pak Frankie dua kali,” kata Fepy.

Pada setiap pengajuan invoice, Fepy mengatakan, PT GPI melampirkan berita acara penghitungan volume Crude-Oil Contaminated Soil (COCS), berita acara pengambilan sampel awal COCS, hasil tes laboratorium PT CPI per 2 minggu, serta sertifikat tes laboratorium dari pihak ketiga, yaitu ALS dan Core Lab.

Penasihat hukum terdakwa Widodo, Dasril Affandi pun kemudian meminta Kejaksaan Agung untuk menyampaikan dokumen secara lengkap.

“Jika tidak lengkap, akan ada kesan bahwa tidak dilakukan uji lab. Padahal kesan negatif itu tidak akan ada kalau barang buktinya lengkap, dalam hal ini sepertinya penuntut umum menyembunyikan sesuatu dengan maksud jahat untuk menghukum orang tanpa mengungkap fakta yang sebenarnya,” ujarnya.

Dasril juga berharap, Kejaksaan Agung tidak menghalangi proses penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan karena dapat diancam hukuman pidana.

Pasal 21 Undang-Undang Nomor  31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi menyebutkan bahwa setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan  pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka dan terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).

(Iksan Tejo/duniaenergi@yahoo.co.id)