Bachtiar Abdul Fatah.

Bachtiar Abdul Fatah.

JAKARTA – Untuk kesekian kalianya, saksi yang dihadirkan dalam persidangan perkara proyek bioremediasi PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) menegaskan bahwa terdakwa Bachtiar Abdul Fatah tidak terlibat dalam tender bioremediasi seperti yang dituduhkan Jaksa Penuntut Umum (JPU).

Kali ini, kesaksian itu disampaikan saksi Damian Garfield Tice di persidangan bioremediasi pada Jumat, 20 September 2013. Dalam menyampaikan keterangannya, Damian Tice yang warga negara Australia dibantu oleh Nelendra Adhyaksa selaku penerjemah.

Tice yang saat ini bekerja sebagai insinyur teknik sipil Chevron di Perth, Australia, mengaku kenal dengan terdakwa, Bachtiar Abdul Fatah, saat masih bekerja bersama di PT CPI selama 3 bulan, yakni Mei – Juni 2009 di SLS Minas. Di SLS, Tice mengaku pernah memegang dua posisi, yakni sebagai Team Leader Teknik Sipil Lingkungan dan Industri pada Mei 2005-Desember 2007, kemudian sebagai Manager untuk Divisi Infrastruktur dan Jasa sepanjang Januari 2008-Juni 2009.

Tice juga tergabung dalam Tim IMS, yang bertanggung jawab untuk mengawasi kegiatan lingkungan hidup, termasuk bioremediasi, konstruksi pembuatan dan perawatan jalan, dan lain-lain. Dari situ, ia mengaku tahu bahwa PT CPI punya izin SBF (Soil Bioremediation Facility) untuk bioremediasi dari Kementerian Lingkungan Hidup (KLH).

Saksi pun menegaskan bahwa kegiatan bioremediasi PT CPI mengikuti semua ketentuan dalam Keputusan Menteri (Kepmen) LH Nomor 128 tahun 2003. Saksi masih ingat betul, izin SBF berakhir pada Maret 2008, dan PT CPI telah mengajukan permohonan perpanjangan izin ke KLH. Pada 2008, sudah ada izin penuh dari KLH, dalam format persetujuan.

Menurut saksi, izin itu diperoleh CPI setelah beberapa kali pertemuan dengan KLH, yang dibuktikan dengan risalah-risalah rapat yang masih tersimpan. Risalah pertemuan November 2008 berisi PT CPI mendapat persetujuan untuk melakukan kegiatan secara keseluruhan dan tidak ada larangan melanjutkan bioremediasi.

“PT CPI memiliki SOP (Standard Operating Procedure) yang sangat rinci untuk kegiatan bioremediasi berdasarkan Kepmen 128/2003,” jelas saksi. Saat berada di Minas, saksi juga tahu ada beberapa kunjungan reguler dari lembaga pemerintah, juga kunjungan audit dari BPK pada Februari 2008, kunjungan BP Migas juga pada 2008 untuk memeriksa kegiatan bioremediasi.

“Juga ada kunjungan dari Bapedal tahun 2008, dan Bapedal sangat terkesan dengan kegiatan-kegiatan yang dilakukan PT CPI. Pada Juni 2008, Bapedal Riau juga berkunjung ke SBF PT CPI dan dalam catatannya mengaku senang dengan SBF yang ada,” terang Tice lagi.

Saksi pun menuturkan, pelaksana kegiatan di SBF pada 2005-2008 adalah PT Tripatra dan subkontraktornya PT Sumigita Jaya (SGJ). Ruang lingkup kontraktor adalah pekerjaan sipil dan tanah, serta pengoperasian alat berat. Untuk pengawasan dan instruksi bioremediasi, dilakukan Tim IMS-REM.

Pada 2008, tender bioremediasi dilakukan langsung dengan PT SGJ dan tidak menggunakan lagi jasa dari Tripatra. Saksi pun mengaku sebagai pengguna atau pemilik kontrak 7861OK dan ikut dalam pelaksanaan kontrak 7861OK tersebut dari awal. “Kegiatan dan aspek teknik dilaksanakan oleh CPI, sementara pengoperasian alat-alat berat dan pekerjaan sipil dilakukan oleh kontraktor,” jelasnya.

Dalam melaksanakan tender itu, saksi mengaku melakukan evaluasi terhadap dokumen pre-kualifikasi, pengalaman kontraktor, dan melakukan konfirmasi pengalaman kepada perusahaan lain. Perusahaan yang ikut tender 7861OK saat itu adalah PT Green Planet Indonesia (GPI), Supraco Indonesia, Ganetri Tirta Lestari, dan PT SGJ.

Menurut saksi, untuk meresmikan pemenang Kontrak 7861OK itu, harus dengan persetujuan BP Migas. Selanjutnya, pengawasan kegiatan sampling dilakukan oleh CPI, namun kegiatan pengambilan sampling dilakukan oleh PT SGJ, dengan pengujian di laboratorium PT CPI.

“Parameter utama yang diuji di lab adalah TPH. Ada pengujian-pengujian yang lain, seperti BTEX. Tapi TPH adalah paremeter yang ditentukan oleh Kepmen 128/2003,” terangnya.

Memang, kata Tice, saat itu sempat ada sanggahan setelah pre-kualifikasi dari PT Sinar Mandau Mandiri karena tidak lolos tahap pre-kualifikasi. “PT Sinar Mandau Mandiri tidak lolos karena tidak pernah mengolah tanah terkontaminasi 30 ribu meter kubik, dan pengalamannya dalam bioremediasi merupakan ;pengalaman konsultan (Yola Konsultan), bukan pengalaman perusahaan,” papar Tice.

Tice membenarkan, dalam tender tersebut ia dan timnya menetapkan HPS (Harga Perkiraan Sendiri). HPS bisa dihitung karena PT CPI telah melakukan pekerjaan bioremediasi yang sedang berjalan di Minas. Jadi cukup paham tentang jumlah karyawan dan alat serta waktu yang dibutuhkan untuk melakukan bioremediasi. HPS juga mempertimbangkan faktor inflasi, mengingat pekerjaan akan dilangsungkan dalam waktu yang cukup lama.

Dari keseluruhan proses tender Kontrak 7861OK itu, tegasnya, tidak ada keterlibatan langsung terdakwa Bachtiar Abdul Fatah. “Terdakwa tidak terlibat karena terdakwa baru datang ke Indonesia dari Amerika Serikat di 2009, yakni setelah tender selesai dan pemenang sudah ditentukan,” ungkap Tice yang mengaku telah meninggalkan Indonesia untuk tugasnya yang baru pada 2009, sehingga ia tidak tahu menahu tentang izin tahun 2012 maupun kontrak C905616 tahun 2011.

(Abraham Lagaligo / abrahamlagaligo@gmail.com)