Dua bulan setengah sudah Elia Massa Manik menduduki kursi direktur utama PT Pertamina (Persero), badan usaha milik negara di sektor energi terintegrasi. Namun, gebrakan mantan direktur utama holding Perkebunan PT Perkebunan Nusantara III (Persero) itu belum kelihatan. Sangat boleh jadi ini karena Elia masih perlu waktu beberapa bulan untuk belajar banyak soal “isi perut” Pertamina yang sangat kompleks, dari sisi hulu hingga hilir.

Tak heran, sepanjang kuartal I 2017, kinerja finansial Pertamina pun relatif tak sementereng periode sama tahun sebelumnya. Betul, secara konsolidasi perseroan membukukan peningkatan pendapatan hingga 19% menjadi US$ 10,15 miliar dari kuartal I 2016 sebesar US$ 8,55 miliar. Peningkatan revenue ini pun didorong oleh kenaikan rata-rata ICP pada periode Januari-Maret 2017 sekitar 69% menjadi US$ 51,03 per barel dibandingkan periode sama tahun lalu.

Tapi, laba bersih sebelum pajak, depresiasi dan amortisasi (EBITDA) justru turun. Pada periode Januari-Maret 2016, EBITDA Pertamina konsolidasi mencapai US$ 2,18 miliar. Tapi, di periode sama tahun ini EBITDA malah turun menjadi US$ 1,89 miliar. Laba bersih perseroan juga turun 24% menjadi US$ 0,76 miliar dibandingkan periode sama 2016 sebesar US$ 1,01 miliar.

Dari sisi operasional, sepanjang kuartal I 2017 secara konsolidasi Pertamina menunjukkan pertumbuhan positif. Hal ini disokong oleh peningkatan produksi hulu migas sebesar 6% dan penjualan bahan bakar minyak (BBM) sebesar 5% dibandingkan dengan periode yang sama 2016.

Produksi minyak pada periode ini mencapai 337 ribu barel per hari atau naik 10% dibandingkan kuartal I 2016 sebesar 312 ribu barel per hari. Begitu pula produksi gas yang mencapai 2.010 juta kaki kubik per hari (MMSCFD) atau naik 2% dibandingkan kuartal I 2016 sebesar 1.975 MMSCFD. Secara keseluruhan produksi migas Pertamina pada periode Januari-Maret 2017 meningkat 6%.

Dari penjualan BBM, pada periode ini, Pertamina mampu menaikannya 5% dibandingkan periode kuartal I 2016 menjadi 15,85 juta kiloliter. Memang ada tren positif, yaitu pada konsumsi BBM nonsubsidi berupa migrasi pereferensi konsumen dari premium ke pertalite dan pertamax yang telah mengambil porsi penjualan sekitar 55,7% terhadap total penjualan gasoline series Pertamina. Pertumbuhan juga terjadi pada penjualan non-BBM  (gas domestik dan petrokimia) yang naik 6% menjadi 3,68 juta kiloliter.

Namun, di sektor pengolahan, kinerja Pertamina turun. Total volume pengolahan berkurang 8%  sepanjang Januari-Maret 2017 dibandingkan periode sama tahun lalu. Hal ini berdampak pada penurunan pada total output produksi dan juga valuable product dengan besaran yang sama dibandingkan dengan kuartal I 2016.

Dibandingkan PTT Thailand, dan apalagi Petronas Malaysia, kinerja Pertamina memang masih kalah moncer. Dengan PTT misalnya. Pada periode Januari-Maret 2017, perusahaan energi terintegrasi asal Negeri Gajah Putih itu mencatatkan kinerja finansial melewati raihan Pertamina, dengan membukukan laba bersih 46,22 miliar baht atau sekitar Rp 17,95 trilun. Raihan laba bersih ini melompati realiasi profit kuartal I 2016 sebesar 23,67 miliar baht atau Rp 9,19 triliun.

Dibandingkan kinerja sepanjang 2016 pun, PTT Thailand tampak lebih apik ketimbang Pertamina. Betul, perseroan mencatatkan penurunan pendapatan tahun lalu menjadi 1,71 triliun baht dari 2,025 triliun baht. Namun, PTT bisa memangkas biaya pokok pendapatan (COGS) dari 1,8 triliun baht menjadi 1,46 triliun baht. Dengan demikian laba kotor naik tipis menjadi 269,95 miliar, dari 248,03 miliar baht. Laba bersih PTT pun meroket signifikan dari 30,72 miliar baht pada 2015 menjadi 129,575 miliar atau sekitar Rp 50,32 triliun pada 2016.

Sementara itu, Pertamina sepanjang 2016 mencatatkan pendapatan sebesar US$ 36,48 miliar atau Rp 492,42 triliun, turun dibandingkan 2015 sebesar US$ 41,76 miliar atau sekitar Rp 563,76 triliun. Namun, perseroan mampu menekan biaya pokok pendapatan menjadi U$ 30,29 miliar dari US$ 37,84 miliar. Total pendapatan komprehensif perseroan tahun 2016 sebesar US$ 3,09 miliar atau sekitar Rp 41,7 triliun, naik dibandingkan periode sama 2015 sebesar US$ 1,42 miliar atau sekitar Rp 19,17 triliun lantaran efisiensi yang cukup besar.

Petronas malah jauh lebih moncer ketimbang Pertamina dan PTT. Pada 2016 mencatatkan laba bersih sebesar Rp 73,3 triliun atau 23,51 miliar ringgit (kurs Rp 3115), naik dibandingkan laba bersih 2015 sebesar 20,86 miliar ringgit atau setara Rp 65,97 triliun. Padahal, pendapatan Petronas pada 2016 justru turun dibandingkan 2015. Tahun lalu, Petronas mencatatkan pendapatan 204,91 miliar ringgit atau Rp 638,29 trilun dibandingkan 2015 sebesar 247,66 miliar ringgit atau sekitar Rp 771,46 triliun. Namun, perusahaan berhasil menekan biaya pokok produksi menjadi 147,2 miliar ringgit atau sebesar Rp 458,53 triliun dibandingkan 2015 sebesar 176,78 miliar ringgit atau Rp 550,67 triliun.

Urgensi Restrukturisasi

Dalam jumpa pers di kantor pusat Pertamina di Jakarta, Rabu (24/5), pekan lalu, Direktur Utama Elia Massa Manik mengakui bahwa kinerja Pertamina perlu ditingkatkan. Terkait dengan itu, Elia berjanji untuk terus melanjutkan rencana restrukturisasi dengan mengevaluasi kinerja anak perusahaan.

“Hasil evaluasi akan menjadi rujukan bagi Pertamina untuk menentukan nasib anak usaha tersebut, salah satunya dengan menggabungkan dengan anak usaha lain,” katanya.

Menurut Elia restrukturisasi yang dilakukan Pertamina saat ini merupakan proses bertahap dan berkesinambungan. Pimpinan anak usaha akan dipanggil dan diberikan tantangan untuk mencapai target yang ditentukan perseroan.

“Kami meminta kepada semua kawan-kawan di anak perusahaan, unit bisnis, untuk mapping. Mereka harus menemukan apa saja area perbaikan dan ukuran agar dia lebih baik. Lalu mereka membuat prioritas,” katanya.

Opsi yang disiapkan oleh Elia Massa patut diapresiasi. Langkah Elia untuk tidak buru-buru melakukan restrukturisasi anak usaha memang tepat agar tidak menimbulkan gejolak di internal perusahaan. Apalagi, rencana restrukturisasi itu sejaitnya adalah kebijakan yang paralel dengan program efisiensi yang di masa kepemimpinan Dwi Soetjipto, Dirut Pertamina yang digantikan Elia Massa pada 16 Maret 2017.

Jika pun dilakukan restukturisasi anak usaha, menurut penilaian Dunia-Energi, pilihan yang patut dipertimbangkan oleh manajemen Pertamina adalah mengkaji restrukturisasi pada anak usaha di sektor hulu. Saat ini setidaknya ada sembilan anak usaha Pertamina di sektor hulu, yaitu PT Pertamina EP, PT Pertamina Hulu Energi, PT Pertamina EP Cepu, PT Pertamina Geothermal Energy, PT Pertamina Drilling Services Indonesia, PT Pertamina Internasional Eksplorasi dan Produksi, PT Elnusa Tbk dan PT Pertamina EP Cepu Alas Dara Kemuning serta Conoco Philips Algeria Ltd.

Sembilan anak usaha Pertamina di sektor hulu migas memiliki kontribusi bervariasi kepada perusahaan induk. Terbesar memang PT Pertamina EP. Sepanjang 2016, Pertamina EP memberi kontribusi laba bersih kepada induk usaha sebesar US$ 597,70 juta. Kontribusi laba bersih ini turun dibandingkan 2015 yang mencapai US$ 738,03 juta didorong oleh penurunan harga minyak.

Peringkat kedua adalah Pertamina EP Cepu yang memberi kontribusi US$ 222,67 juta laba bersih kepada induk usaha, naik dibandingkan 2015 sebesar US$ 159,74 juta. Di peringkat ketiga adalah PT Pertamina Internasional Eksplorasi dan Produksi yang membukukan laba bersih 2016 sebesar US$ 192,50 juta, jauh lebih tinggi ketimbang PT Pertamina Hulu Energi yang ‘hanya’ US$ 188,86 juta.

Yang menarik adalah Elnusa. Di perusahaan ini, Pertamina tidak menguasai saham 100%, tapi kinerjanya lebih apik ketimbang PT Pertamina Drilling Services Indonesia (PDSI) yang 100% sahamnya dikuasai perusahaan. Pada 2016, Elnusa membukukan laba bersih US$ 23,36 juta dengan total pendapatan US$ 272,07 juta serta aset US$ 311,92 juta. Bandingkan dengan PDSI. Kendati asetnya besar, mencapai US$ 590,36 juta pada 2016 dan pendapatan usahanya mendekati Elnusa, yaitu sebesar US$ 214,13 juta, laba bersih yang dibukukan PDSI hanya US$ 8,71 juta.

Dengan melihat kinerja finansial masing-masing anak usaha hulu migas Pertamina, setidaknya perusahaan bisa melakukan restrukturisasi dengan menggabungkan sembilan anak usaha itu menjadi maksimal lima perusahaan saja. Pertama, anak usaha yang fokus di bisnis jasa hulu migas (gabungan PDSI dan Elnusa). Entah Elnusa yang digabungkan ke PDSI atau sebaliknya.

Kedua, anak usaha yang fokus di bisnis hulu migas domestik nonkerjasama KKKS lain. Ini ditangani oleh PT Pertamina EP. Saat ini, Pertamina EP fokus pada pembagian kerja berdasarkan Lima Aset. Aset 1 terdiri atas Rantau, Pangkalan Susu, Lirik,Jambi, dan Ramba; Aset 2 terdiri atas Pendopo, Limau, Prabumulih dan Adera; Aset  3  terdiri  atas  Tambun, Subang, Jatibarang; Aset 4 terdiri dari Poleng, Cepu dan Matindok; dan Aset 5 terdiri atas Tanjung, Sangasanga, Sangatta, Bunyu, Tarakan, dan Papua. Pembagian Aset tersebut memungkinkan PEP melakukan pembebanan manajemen   secara   merata   sehingga   memudahkan pengawasan dan koordinasi penerapan standar operasional secara efektif dan efisien. Dengan bergabungnya anak usaha lain, jumlah aset akan bertambah.

Ketiga, anak usaha yang fokus di bisnis hulu migas domestik yang melibatkan kerjasama dengan KKKS lain di bawah PT Pertamina Hulu Energi. Saat ini, PT Pertamina Hulu Energi (PHE) melakukan kegiatan sektor hulu migas melalui pengelolaan dan  pengembangan portofolio  usaha  yang  berbentuk  kerja  sama  di  dalam  dan   luar   negeri.
Eksplorasi   dilaksanakan   dengan   menggunakan teknologi mutakhir dan tepat guna bekerjasama dengan mitra strategis yang menguasai advance exploration   technology. Tahun lalu, PHE telah memberikan kontribusi pada kegiatan produksi minyak nasional sebesar 63  ribu barel per hari. Saat ini PHE bersama mitra mengelola 52 blok migas yang tersebar dari  wilayah  Nanggroe  Aceh Darussalam hingga Papua. Sedangkan dua blok migas di luar negeri yang saat ini dikelola PHE adalah blok migas di Vietnam dan Malaysia.

Keempat, anak usaha di sektor energi baru dan terbarukan. Di sini bisa berhimpun PT Pertamina Geothermal Energy (PGE) dan cucu usaha di sektor energi baru dan terbarukan. PGE saat   ini  mengelola 14 Wilayah Kerja Panasbumi (WKP), sebanyak empat di antaranya sudah  berproduksi.  Pada   2016 telah diselesaikan tiga proyek dengan total 95 MW yaitu Ulubelu Unit 3 (55 MW) pada bulan Juli, Lahendong Unit 5 (20 MW) pada bulan September dan Unit 6 (20 MW) pada   Desember 2016.  Total  kapasitas  terpasang  PGE per  akhir  tahun  2016  sebesar  532  MW,  yang  terdiri atas: Area Kamojang (235 MW), Area Lahendong (120 MW), Area Sibayak (12 MW), dan Area Ulubelu (165 MW).

Selain di area yang telah beroperasi, saat ini PGE terus melakukan kegiatan eksplorasi dan pengembangan
energi panas bumi di seluruh wilayah yang dikelola, yaitu Seulawah, Sungai Penuh, Hululais, Lumut Balai, Karaha Bodas, dan Gunung Lawu.

Kelima, anak usaha di sektor hulu migas overseas melalui PT Pertamina Internasional Eksplorasi dan Produksi (PIEP). Saat ini PIEP menjadi perusahaan holding  bagi PT Pertamina Irak Eksplorasi Produksi (PIEP) dan  PT  Pertamina  Malaysia  Eksplorasi  Produksi  (PMEP) yang   didirikan   pada   25   September   2014   (sudahberoperasi sejak 18 Desember 2014), serta PT Pertamina Algeria EP (PAEP) untuk pengelolaan wilayah Aljazair, termasuk wilayah  kerja  Maurel  et  Prom.  Sesuai  publikasi AMF pada tanggal 25 Januari 2017, Pertamina merupakan pemegang 64,46%  saham Maurel et Prom melalui mekanisme tender offer. Penambahan saham hasil tender offer kedua diumumkan AMF pada 15 Februari 2017.

Jika pun mau diperas, maksimal hanya empat anak usaha di sektor hulu, yaitu sektor jasa, hulu domestik, hulu overseas, dan energi baru dan terbarukan. Dengan penggabungan anak usaha, selain akan fokus juga efisiensi yang cukup besar. Jumlah sumber daya manusia, terutama BOD dan BOC anak usaha bisa dipangkas, jumlah VP dan manajer anak usaha juga akan berkurang signifikan sehingga tenaganya bisa dialokasikan ke sektor lain yang saat ini sedang dalam pengembangan, seperti megaproyek kilang dan petrokimia.

Bila Elia Massa berencana melakukan resturkturisasi anak usaha, terutama di sektor hulu, sejatinya proses restrukturisasi melalui kajian mendalam dan melibatkan jajaran BOD anak usaha terkait. Benar bahwa pro dan kontrak bakal muncul. Tapi, bila dirut dan BOD Pertamina berhasil meyakinkan karyawan anak usaha bahwa program restrukturisasi bakal positif demi mendongkrak kinerja Pertamina ke depan, rencana itu kemungkinan mendapatkan respons positif. (DR)