JAKARTA – Sudut pandang masyarakat dalam penggunaan energi, terutama energi fosil seperti minyak dan gas dinilai harus diubah. Pasalnya sudah lama masyarakat dimanjakan dengan penyediaan energi fosil murah.

Maritje Hutapea, Direktur Aneka Energi Terbarukan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), mengungkapkan sudah bertahun-tahun penyediaan energi fosil masyarakat selalu disubsidi pemerintah. Kondisi ini semakin membuat energi baru dan terbarukan (EBT) menjadi terabaikan.

“Cukup lama energi kita disubsidi. Ratusan triliun per tahun untuk subsidi energi sehingga masyarakat menganggap energi itu murah. Ketika bicara EBT, biaya produksinya tinggi dan tidak pernah disubsidi. Padahal jika disubsidi, saya yakin bisa bersaing dengan energi fosil,” kata Maritje di Jakarta.

Untuk itu langkah pencabutan subsidi bahan bakar minyak (BBM) dinilai tepat untuk mendidik masyarakat bahwa energi yang disubsidi tidak bisa bertahan selamanya. Dan penggunaan energi baru terbarukan lambat laun akan menjadi prioritas.

“Sekarang kita sudah mulai beralih, subsidi dicabut. Yang penting keberanian, komitmen, dan konsistensi pemerintah,” tegas Maritje.

Sammy Hamzah, Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia Bidang ESDM, mengatakan arah kebijakan pemerintah di sektor energi sebenarnya sudah cukup positif. Hal ini bisa dilihat dari dibentuknya Dirjen Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE).

Indonesia, lanjut dia, memang sudah terlalu lama terkungkung dalam permasalahan menurunkan harga energi yang akhirnya diambil jalan pintas dengan memberikan subsidi. Padahal untuk bisa mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan dibutuhkan pondasi dasar, yaitu kekuatan ekonomi masyarakat.

“Seharusnya untuk pembangunan keberlanjutan bisa meningkatkan daya beli masyarakat di daerah. Pengusaha percaya subsidi sebenarnya tidak baik, bisa diterapkan tapi hanya dalam jangka waktu tertentu. Jadi harus ada roadmap jangka panjang,” ujar Sammy.

Upaya pemerintah untuk meningkatkan gairah iklim investasi dengan pemberian subsidi dalam bentuk insentif juga diminta tidak menyasar pada level midstream dan upstream, karena potensi penyalahgunaannya jauh lebih besar.

Menurut Sammy, insentif akan lebih efektif dan tidak disalahgunakan dalam bentuk insentif fiskal. Namun untuk merealisasikan hal itu dibutuhkan upaya ekstra karena harus koordinasi lintas sektor kementerian.

“Soal insentif, misalnya pajak, kalau bisa dikaji mungkin lebih baik. Ini bisa dilihat dari kebijakan Kementerian ESDM yang tidak didukung kementerian lain,”  kata dia.

Pemberian insentif untuk bisa mempercepat penggunaan EBT memang sangat diperlukan. Apalagi EBT berpotensi digunakan sebagai energi primer di tanah air dan cadangan migas bisa dimanfaatkan untuk masa depan.

“Kita harus melihat ini dalam konteks makro. EBT mau tidak mau memang harus di kembangkan. Untuk migas digeser dalam konteks  penggunaan secara optimal,” tutup Sammy.(RI)