JAKARTA – Rencana PT PLN (Persero) menerbitkan obligasi internasional untuk mendapat tambahan modal hingga US$ 1 miliar diproyeksi tidak akan berjalan lancar.

Melisa Brown, peneliti senior Institute for Energy Economics and Financial Analyst (IEEFA), mengatakan PLN membutuhkan dana segar untuk bisa menjalankan rencana pembangunan infrastruktur ketenagalistrikan dalam tahun-tahun mendatang. Namun pola pikir dan pandangan analis keuangan internasional yang sudah berubah diproyeksikan akan membuat rencana PLN menerbitkan obligasi tidak akan berjalan lancar sesuai rencana.

“Tantangan PLN, mereka butuh dana tambahan untuk bangun infrastruktur guna menambah kapasitas pembangkit dan berharap itu bisa didapatkan dari obligasi internasional. Masalahnya analisis sudah berubah, PLN akan dicecar banyak pertanyaan terkait kondisi perusahaan ke depan,” kata Melissa dalam konferensi pers di Jakarta, Rabu (18/4).

Dalam laporan yang dirilis, PLN selama ini dinilai sebagai perusahaan yang bergantung pada subsidi pemerintah. Saat subsidi dipangkas dengan jumlah besar dalam beberapa tahun terakhir, ada kerugian yang diderita PLN dari pemotongan tersebut. Kondisi ini yang boleh jadi tidak akan dilihat positif oleh  analis internasional.

Melissa menilai hingga kini dan dalam beberapa tahun kedepan PLN masih sangat bergantung pada pertumbuhan pembangkit batu bara. Padahal ini menimbulkan risiko yang tidak sedikit. Apalagi, PLN berkontrak jangka panjang. Disisi lain, tidak ada yang bisa menjamin demand listrik di masa akan datang sesuai dengan estimasi yang dicanangkan perusahaan.

Risiko itulah yang membuat PLN dipastikan akan membutuhkan dukungan terus menerus dari Kementerian Keuangan melalui mekanisme subsidi.

Rencana Umum Penyediaan Tenaga LIstrik (RUPTL) 2018 -2027 menyebutkan dalam kurun waktu dua tahun mendatang akan ada peningkatan permintaan dan penambahan kapasitas pembangkit, namun itu akan berbalik mulai 2021. Permintaan akan penambahan kapasitas pembangkit akan menurun. Puncaknya, pada 2025 total tambahan kapasitas justru belum dialokasikan penyerapannya.

“Hampir 50% dari kapasitas baru yang direncanakan untuk 2025 belum dialokasikan,” ungkap Melissa.

IEEFA dalam laporannya menyatakan proses perencanaan PLN dianggap terlalu ambisius dan tidak transparan. RUPTL 2018-2027 masih dianggap terlalu ambisius dengan menetapkan asumsi pertumbuhan yang sangat optimis. Padahal di saat yang bersamaan realisasi penjualan listrik masih jauh di bawah asumsi pertumbuhan. Selain itu, proses penyusunan RUPTL dianggap tidak terbuka.

Hal tersebut yang akan menjadi sumber-sumber pertanyaan para analis keuangan internasional kepada PLN.

IEEFA juga menyoroti performa keuangan PLN yang kurang baik, jika dibanding perusahaan serupa di kawasan. Hal itu ditunjukkan dengan nilai utang terhadap arus kas (EBITDA) yang diproyeksikan akan mencapai tiga kali lebih tinggi dibanding perusahaan infrastuktur lain di Thailand dan Filipina pada 2020.

Para pemberi pinjaman global akan lebih berhati-hati, khususnya untuk investasi di sektor yang bergantung pada subsidi publik. Peningkatan peringkat rating Indonesia bahkan tidak akan sanggup mengubah kondisi tersebut.

Selain itu, investor juga semakin waspada terhadap negara yang banyak berinvestasi besar di sektor pembangkit batu bara. Pasalnya kemajuan pembangkit Energi Baru Terbarukan (EBT) cukup signifikan.

Erika Hamdi, analis IEEFA menambahkan PLN telah menjalankan strategi bagus ketika melakukan revaluasi aset, namun yang harus analis internasional tidak hanya melihat itu. Analis akan melihat kedepan bukan jarak dua tahun, tapi minimal lima tahun kedepan.

Saat investor berusaha memberi pinjaman, para pemberi pinjaman akan melihat dipergunakan untuk apa dan penggunaan pinjaman tersebut akan menjadi aset sebenarnya bangun grid pembangkit, kemudian apa bisa  menghasilkan berapa, sehingga bisa membayar pinjaman tersebut.

Terlebih dalam kajiannya berdasarkan RUPTL pada 2020, biaya IPP PLN cukup besar. Ini tentu jadi pertimbangan lainnya.

“Pada 2020 cost IPP PLN besar dan mayoritas coal, kontraknya jangka panjang dan harus mereka bayar,” kata Erika.(RI)