JAKARTA – Nilai tukar rupiah yang anjlok hingga menembus level Rp15.200 per dolar Amerika Serikat menyebabkan rugi kurs PT PLN (Persero) membengkak menjadi Rp 17,32 triliun pada sembilan bulan 2018 dibanding periode yang sama 2017 sebesar Rp2,22 triliun. Selain rugi kurs, beban keuangan PLN juga meningkat menjadi Rp16,18 triliun dibanding periode sembilan bulan 2017 sebesar Rp14,78 triliun.

Laporan keuangan PLN yang dirilis Selasa (30/10) mencatat nilai kedua pos tersebut jauh diatas raihan laba usaha setelah subsidi yang diterima PLN sebesar Rp16,69 triliun, turun dibanding periode yang sama 2017 sebesar Rp 23,76 triliun. Akibatnya, PLN harus menanggung rugi bersih hingga Rp18,48 triliun pada sembilan bulan 2018 dibanding periode yang sama 2017 yang meraih laba bersih Rp3,04 triliun.

Sarwono Sudarto, Direktur Keuangan PLN, sebelumnya mengakui bahwa PLN tidak bisa terhindar dari kerugian lantaran anjloknya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.

“Kurs rupiah kan sudah Rp15.200 per dolar AS. Tapi kalau berubah lagi, ya pembukuan turun lagi. Jadi ini soal pembukuan saja,” kata Sarwono, baru-baru ini.

Hingga September 2018, PLN membukukan pendapatan Rp200,91 triliun, naik dibanding periode yang sama tahun lalu Rp187,88 triliun. Pendapatan ditopang dari peningkatan penjualan listrik sebesar Rp194,4 triliun, penyambungan pelanggan Rp5,2 triliun serta pendatapan lainnya Rp1,3 triliun.

Seiring kenaikan pendapatan, beban usaha ikut naik menjadi Rp224 triliun dibanding periode Januari-September 2017 sebesar Rp200,31 triliun. Kontributor terbesar peningkatan beban usaha PLN adalah pada bahan bakar dan pelumas yang mencapai Rp 101,87 triliun, pembelian tenaga listrik naik menjadi Rp60,61 triliun, beban  pemeliharaan Rp15,01 triliun, dan beban penyusutan Rp22,7 triliun.

Kondisi ini menyebabkan PLN mencatat rugi usaha sebesar Rp23,08 triliun. Setelah mendapatkan suntikan dana subsidi sebesar Rp39,7 triliun PLN memperoleh laba setelah subsidi sebesar Rp16,69 triliun.(RI)