Rudi Rubiandini

JAKARTA – Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) M Akil Mochtar mengungkapkan, inefisiensi menjadi salah satu alasan lembaganya mengeluarkan putusan membubarkan Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas). Namun tudingan itu dibantah dengan tegas oleh Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Rudi Rubiandini.

Saling bantah itu berlangsung dalam diskusi publik bertajuk “Masa Depan Pengelolaan Migas Nasional Pascakeputusan Mahkamah Konstitusi, di kantor Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Golkar, Jakarta Barat, Selasa, 4 Desember 2012.

Dalam diskusi itu Akil Mochtar mengatakan, MK menyatakan BP Migas bubar, dengan pertimbangan Undang-Undang (UU) Nomor 22 Tahun 2001 tentang Migas inskonstitusional. Keputusan itu dikeluarkan melalui Putusan MK Nomor 36/PUU-X/2012.

Alasan MK, kata Akil, selain tidak selaras lagi dengan amanat konstitusi, negara pun tidak lagi menunjukkan sikap kedaulatannya akibat hubungan bussines to bussines, hubungan antara negara dan kontraktor, yang berlangsung selama pengelolan migas dikawal BP Migas.

“Dalam hubungan itu, kedudukan negara tidak berada pada posisi yang lebih tinggi, namun menjadi setara dengan kontraktor. Pembubaran ini dapat dilihat dari indikator dasar ekonomis. Penilaiannya, inefisiensi BP Migas berdampak pada kerugian,” jelas Akil.

Akil menambahkan, Hakim Konstitusi memandang ada dua fakta, yang menjadi indikator kerugian tersebut. Pertama, penurunan share (bagi hasil, red) gas terhadap PDB (Produk Domestik Bruto) Indonesia, semenjak sumber daya migas dikelola BP Migas.

Ia menyebutkan, pada 2000 – 2002 share gas mencapai 10-20%, sementara tahun ini menjadi 5%. Kedua, tingkat ketaatan eksportir BP Migas hanya 30%, berbeda dengan eksportir lainnya yang menembus angka 90% dari transaksi eksportirnya.

“Tanpa maksud menuding bahwa terdapat korupsi di tubuh BP Migas, dan hakikatnya MK ataupun Hakim Konstitusi tidak berhak menyatakan hal tersebut, maka istilah inefisiensi (tidak efisien, red) adalah yang paling ramah dan netral untuk menggambarkan kondisi BP Migas saat ini,” sebut Akil lagi.

Akil Mochtar tidak menyinggung lebih jauh perihal kemungkinan adanya parktek korupsi di tubuh organisasi BP Migas. Menurut Akil, lebih jauh menjelaskan kontribusi BP Migas terhadap anggaran negara, kontribusi BP Migas terhadap APBN pun selalu menurun.

Penurunan ini terjadi pada rentang waktu 1990-an hingga 2012. “Tahun 1990-an hanya 35%, tahun 2000 menurun jadi 32%, 2006-2007 turun lagi jadi 20%, dan 2012 jadi hanya 12%,” terangnya.

Rudi Rubiandi pun langsung membantah data-data yang disampaikan Akil Mochtar. “Apa yang disampaikan Akil adalah salah,” cetusnya dalam kesempatan yang sama.

Menurut Rudi, kegagalan BP Migas saat ini justru terjadi pada ketidakmasifan eksplorasi migas. Padahal, pendapatan dari sektor migas bisa mencapai Rp 360 triliun pada 2012. “Ini artinya, bila eksplorasi migas dilakukan secara masif, maka pendapatan itu akan lebih tinggi lagi,” tandasnya.

Menurut Rudi, kesalahan yang mendasar terjadi pada anggapan bahwa negara hanya mendapat 12% dalam kontrak bagi hasil migas. padahal negara justru mendapatkan 65%, usai pemotongan 65% biaya investasi.

Kesalahan lainnya, kata Rudi, terdapat dalam pasal 4 UU 22/2011, bukan kontraktor migas, baik itu kontraktor dalam negeri maupun kontraktor asing. Rudi pun menerangkan sebuah bagan yang menunjukkan kontraktor asing migas telah ada sejak BP Migas belum dibentuk. “Ini perlu diluruskan, karena ada yang salah lihat data,” tukas Rudi.

Ditemui usai diskusi, Akil Mochtar tetap bertahan pada pendapatnya, dan balik membantah apa yang disampaikan Wakil Menteri ESDM. “Yang kita pakai adalah data APBN, masa data APBN salah?,” tutupnya.

(CR-1 / duniaenergi@yahoo.co.id)