JAKARTA – Akuisisi 33,3% saham PT Star Energy oleh BCPG Company Limited, Thailand dinilai sebagai upaya untuk membagi risiko usaha serta mendapat keuntungan yang lebih pasti. Apalagi Star Energy baru mengakuisisi aset-aset yang dikelola Chevron Geothermal Indonesia Ltd.

Abadi Poernomo, Ketua Asosiasi Panasbumi Indonesia, mengatakan BCPG mengakuisisi lapangan panas bumi eksisting yang term and condition sudah mempunyai kepastian hukum yang tertuang dalam perjanjian jual beli listrik (power purchase agreement/PPA).
“Investor baru akan merujuk kepada regulasi yang sustainable. Makin sering regulasi diubah, risiko makin dan mereka enggan untuk berinvestasi,” ujar Abadi kepada Dunia Energi, Kamis (3/8).
Menurut Abadi, BCPG yang bergerak dibidang energi baru terbarukan, solar PV, ingin mengembangkan usahanya dibidang EBT lainnya. Pilihan kemudian mengakuisisi saham Star Energy yang menguasai wilayah kerja panasbumi (WKP) Wayang Windu, Salak dan Darajat.

“Semua sudah beroperasi, sehingga risiko pengusahaan sangat rendah dan revenue-nya pasti,” kata dia.

Komaidi Notonegoro, Direktur Eksekutif Reforminer Institute, menambahkan masuknya BCPG merupakan strategi keuangan Star Energy yang baru membeli aset-aset panas bumi Chevron. Jika ditanggung sendiri tentu agak berat.

“Kalau dari sisi perusahaan Thailand, bisa saja ini signal bahwa Indonesia sudah cukup masuk hitung-hitungan keekonomian. Apalagi kedepan pertumbuhan kebutuhan energi meningkat, tren bergeser ke EBT,” ungkap Komaidi.

BPCG Company dalam keterangan tertulisnya pekan lalu menyebutkan perusahaan secara resmi telah ikut ambil bagian dari bisnis panas bumi di Indonesia. Hal ini juga telah mendapat persetujuan dari pemegang saham perusahaan yang tercatat di Bursa Efek Thailand tersebut pada 13 Juni 2017 lalu.

Bundit Sapianchai, President BCPG Company, mengatakan keyakinan terhadap keputusan investasi perusahaan di sektor panas bumi. Setelah proses akuisisi rampung, investasi tersebut diharapkan bisa berkontribusi terhadap profit.

“RUPS menyetujui akuisisi 33,33% saham Star Energy senilai US$ 357,5 juta,” kata Sapianchai.

Menurut dia, profit.yang diharapkan memang tidak akan langsung terasa dalam waktu dekat karena perusahaan masih harus menyelesaikan persoalan pengalihan saham yang ditargetkan rampung tahun ini.

“Perusahaan berharap proyek mulai berkontribusi dalam pendapatan secepatnya setelah proses akuisisi selesai di kuartal III tahun ini,” tandas Sapianchai.

Star Energy merupakan perusahaan panas bumi terbesar di Indonesia menyusul pengambilalihan aset-aset panas bumi Chevron. Aset Chevron yang diambil alih adalah PLTP Salak berkapasitas 370 megawatt (MW), dan PLTP Derajat berkapasitas 240 MW. Serta 40% aset panas bumi Tiwi-MakBan Filipina berkapasitas 326 MW. Star Energy sebelumnya juga mengoperasikan PLTP Wayang Windu I-III berkapasitas total 287 MW. (RI)