JAKARTA – Freeport-McMoRan Inc menyatakan manajemen PT Freeport Indonesia saat ini akan dipertahankan, meski kepemilikan saham mayoritas telah beralih ke PT Indonesia Asahan Aluminium (Persero) atau Inalum. Hal ini untuk menjaga stabilitas operasi apalagi dengan perubahan kegiatan dari open pit ke tambang bawah tanah.

“Ini waktu yang sangat penting bagi Freeport karena kita berubah dari open pit ke tambang bawah tanah yang secara teknis sangat rumit,” kata Richard Adkerson, Chief Executive Officer Freeport-McMoRan di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Jakarta, Kamis (27/9).

Bisnis yang dijalankan Freeport kata Richard membutuhkan pengalaman teknis dan kualifikasi yang sangat signifikan. “Saya merasa nyaman mengatakan itu adalah tambang yang paling rumit di dunia, dan aktivitas (tambang) bawah tanah ini adalah sesuatu yang tidak pernah dilakukan dalam industri pertambangan,” tukasnya.

Meski demikian, Freeport kata Richard menjamin akan membangun hubungan kerja sama yang baik dengan Inalum sebagai mitra pemilik mayoritas saham Freeport yang baru dengan tujuan menjaga kelangsungan operasi.

“Kami membentuk kemitraan dengan Inalum untuk tata kelola Freeport Indonesia. Kami akan menjaga kesinambungan operasi untuk memastikan bahwa operasinya, pengelolaan lingkungan ditangani dengan cara yang benar,” ungkap dia.

Menurut Richard, dengan adanya kesepakatan dan penandatanganan diharapkan sudah tidak ada lagi isu ataupun kontroversi terkait negosiasi perpanjangan dengan pemerintah yang sempat terjadi dalam beberapa tahun terakhir. Freeport berharap setelah manajemen merespon kemauan pemerintah kini giliran pemerintah yang memberikan kesempatan ke Freeport untuk fokus melakukan stabilisasi operasi produksi tembaga.

Kesepakatan yang terjalin dengan pemerintah bersama dengan Rio Tinto yang telah bersedia mengkonversi Participating Interest (PI) menjadi saham.

“Harapan kami adalah pemerintah memberikan kesempatan kami untuk menstabilkan operasi. Ini adalah bisnis yang besar, bisnis yang rumit, dan akan dapat memiliki produksi volume tinggi, keamanan, dan itu akan menciptakan banyak nilai bagi Inalum, Freeport dan rakyat Papua,” ungkap Richard.

Setelah melakukan penandatanganan Sales Purchase and Agreement maka diperlukan waktu untuk mendapatkan persetujuan dari lembaga persaingan usaha internasional. Hal itu diperlukan lantaran bakal terjadinya perubahan susunan pemegang saham Freeport dengan masuknya Inalum kuasai 51,24% saham Freeport Indonesia. Nilai transaksi yang telah disepakati sendiri adalah US$ 3,85 miliar.

“Ini hanya prosedural, tapi butuh waktu tapi tidak akan berisiko bagi kesepakatan transaksinya,” ungkapnya.

Budi Gunadi Sadikin Direktur Utama Inalum, menyatakan proses pembayaran transaksi diberikan waktu enam bulan setelah penandatanganan SPA, namun targetnya akan dipercepat agar proses transaksi tersebut bisa selesai pada November.

Menurut dia, yang akan memakan waktu lebih lama adalah dokumen dan syarat administratif lantaran Freeport perusahaan yang beroperasi dengan negara lain yang mempunyai ketentuan apabila terjadi transaksi harus juga mengurus pemberitahuan pengalihan saham.

Sebagai perusahaan internasional, Freeport memerlukan izin dari  yurisdiksi di luar Amerika Serikat. Kemungkinan agak lama adalah izin untuk antitrust dari China karena Freeport banyak menjual konsentrat ke negara itu.

“Orang China tidak mau kalau terjadi transaksi merger entitas barunya terlalu dominan untuk ekspor barang kesana. Jadi mereka mau lihat ini jadi dominan apa tidak,” tandas Budi.(RI)