JAKARTA- Indonesia dalam beberapa tahun ke depan akan kekurangan puluhan ribu pasokan tenaga ahli teknik atau insinyur seiring massifnya proyek pengembangan infrastruktur, termasuk proyek infrastruktur energi, salah satunya proyek pembangkit listrik 35 ribu megawatt (MW). Heru Dewanto, Wakil Ketua Umum Persatuan Insinyur Indonesia, mengatakan pada 2019 Indonesia diproyeksikan membutuhkan sedikitnya 82 ribu insinyur sedangkan yang teredia hanya 20 ribu insinyur.

“Itu pun faktanya hanya  separuh dari sarjana teknik yang berprofesi sebagai insinyur. Hanya separuhnya lagi dari jumlah itu bekerja di infrastruktur,” kata Heru yang juga menjabat Presiden Direktur PT Cirebon Electric Power ini.

Realisasi anggaran pembangunan infrastruktur beberapa tahun belakangan ini selalu naik dari tahun ke tahun, terutama sejak pembangunan infrastruktur menjadi prioritas utama pembangunan nasional melalui Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) pada zaman pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Jika pada APBN 2010 realisasi anggaran infrastruktur masih sebesar Rp 86 triliun, di tahun 2015 sudah mencapai angka Rp 189,7 triliun, naik sebesar Rp 103,7 triliun atau sekitar 120 persen. Anggaran pembangunan infrastruktur semakin digenjot naik pada pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla. Dalam Nota Keuangan 2016, anggaran pembangunan infrastruktur pada APBN 2016 naik menjadi Rp 313,5 triliun atau 8 persen dari APBN 2016. Jumlah ini lebih besar dari anggaran APBN-P 2015 yang sebesar Rp 290,3 triliun.

Heru berharap kekurangan pasokan insinyur menganggu proyek infrastruktur besar di  Tanah Air, salah satunya adalah megaproyek 35 Ribu MW. “Jangan sampai kita punya proyeknya tapi tidak ada yang mengerjakannya,” kata dia.

Berdasarkan data Engineer Weekly No 01, VII, Februari 2016  Vietnam memiliki jumlah insinyur terbanyak di Asean, yaitu 800 orang, disusul Indonesia 750 ribu, Filipina 500 ribu, dan Thailand 276 ribu. Sementara Myanmar, Singapura, dan Malaysia masing-masing 205 ribu, 150 ribu, dan 100 ribu.

Sementara berdasarkan jumlah insinyur per satu juta penduduk, Singapura adalah terbesar, yaitu 28,235 orang disusul Vietnam 8,917, dan Filipina 5,170 serta Thailand 4,121. Adapun Indonesia paling bawah, yaitu 3,038 orang.

Menurut data Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (2011) dan Persatuan Insinyur Indonesia (2014), kebutuhan insinyur sebanyak 65.483 pada 2015 menjadi 107.690 pada 2016 dan 153.684 pada 2017 dan 203.575 pada 2018 serta 237.987 pada 2019. Sementara pertambahan per tahun fluktuatif dan cenderung turun. Pada 2015 sebear 65.483, 2016 sebesar 42.207, pada 2017  sebesar 45.994, dan 49.891 serta 34.412 pada 2019. Bila terjadi kekurangan insinyur dari pihak BUMN/Swasta diperkirakan ada insinyur asing (professional engineer) hingga sebanyak 5.846.

Menurut Heru semua pihak harus punya visi yang sama dan bergandengan tangan mewujudkannya. Dalam pandangannya, pendidikan vokasi (kejuruan) bisa menjawab persoalan tenaga kerja.

“Tapi kurikulumnya juga harus sesuai dengan kebutuhan pasar. Selain itu penyalurannya juga harus jelas karena percuma anak-anak kita ini dilatih dan dilatih kemudian bingung bisa bekerja di mana,” kata Heru.

Heru menegaskan, program megaproyek pembangkit 35 ribu MW dan proyek-proyek infrastruktur yang digagas Presiden Jokowi diharapkan bisa menjadi sarana capacity building bagi bangsa Indonesia untuk bisa bersaing di era Masyarakat Ekonomi Asean (MEA). Proyek 35 Ribu MW harus menjadi awal pembangunan manusia Indonesia yang akan membentuk masa depan Indonesia.

“Proyek ini harus bisa membuat Indonesia bertumbuh, bukan hanya dari sisi infrastruktur saja, namun juga manusianya. Jangan sampai, nanti setelah semua proyek ini selesai, tidak ada satupun anak bangsa yang mampu menjadi pemain-pemain yang berkualitas dan punya kapasitas untuk melanjutkan pembangunan bangsa ini,” kata Heru.

Heru mengungkapkan menurut data Badan Pusat Statistik BPS, hingga Februari 2016 sekitar 7,45% rakyat Indonesia menganggur. Dari jumlah itu,  39% di antaranya lulusan SD, sementara 25% lainnya adalah sarjana. Data lain yang tak kalah mengagetkan menurut Heru adalah 47% dari angkatan kerja Indonesia merupakan lulusan SD.

“Bagaimana kita bisa bersaing di MEA dengan kondisi seperti ini? Capacity building ini harus dimulai dari sekarang, dan cara yang paling konkret dan paling komprehensif adalah melalui proyek 35 Ribu MW dan proyek-proyek infrastruktur yang digagas Presiden Jokowi,” ujarnya. (DR)