AKSI gerak cepat dipertontonkan oleh manajemen PT Pertamina (Persero), badan usaha milik negara di sektor energi terintegrasi. Dalam negosiasi selama 28 jam nonstop di pengujung Oktober 2016,  Pertamina dan OJSC Ronseft Oil Company, perusahaan migas asal Rusia, sepakat untuk menyetorkan deposit masing-masing sebesar US$ 200 juta atau setara Rp 2,6 triliun (kurs Rp 13.000). Ini adalah milestone penting kerjasama kedua perusahaan dalam menggarap proyek Grass Root Refinery (GRR) di Tuban, Jawa Timur.

Rachmad Hardadi, Direktur Megaproyek Pengolahan dan Petrokimia Pertamina, mengatakan Pertamina dan Rosneft berkomitmen untuk tidak menunda pelaksanaan setiap tahapan proyek GRR di Tuban dengan rencana kapasitas produksi sebesar 300 ribu barel per hari. Apalagi Rosneft menyepakati untuk memberikan opsi kepada Pertamina berupa lapangan migas dengan tingkat produksi tidak kurang dari 30 ribu barel setara minyak dan dengan cadangan tidak kurang dari 200 juta barel setara minyak.

rachmad-hardadi

Rachmad Hardadi, Direktur Megaproyek Pengolahan dan Petrokimia Pertamina

Kesepakatan ini juga sangat  penting bagi Pertamina dan ketahanan energi nasional yang sangat membutuhkan tambahan produksi migas untuk memenuhi kebutuhan energi yang semakin meningkat,” ujar Rachmad di Jakarta, akhir pekan lalu.

Pertamina dan Rosneft meneken kesepakatan JVA untuk menggarap GRR Tuban awal Oktober lalu. Terpilihnya Rosneft sebagai mitra Pertamina di Tuban diumumkan  setelah Presiden Joko Widodo menerima kunjungan kehormatan dari CEO Rosneft Igor Sechin di sebuah hotel di Sochi, Rusia, Mei lalu. Saat itu Jokowi menginginkan kerja sama Pertamina dan Rosneft tak hanya soal kilang, juga membangun storage atau tempat penyimpanan cadangan minyak di dalam negeri.

Kedua perusahaan bersepakat untuk mengembangkan GRR Tuban dengan kapasitas produksi 300 ribu barel per hari. Bahan baku untuk proyek NGRR Tuban akan diperoleh dari minyak mentah sour impor dengan grade medium dan heavy. Kompleksitas GRR Tuban diatas 9 NCI (Nelson Complexity Index)  dan karakteristik produk level Euro 5.

NCI adalah metode pengukuran komponen-komponen biaya meningkatkan kapasitas (upgrading) kilang yang dikembangkan oleh Wilbur L Nelson pada 1960-an. NCI membandingkan macam-macam biaya upgrading unit seperti catalyc cracker atau reformer sampai seberapa besar biaya untuk crude distillation unit (CDU). Kompleksitas sebuah kilang semakin banyak menghasilkan produk yang valueable dan semakin sedikit menghasilkan produk unvaluable.

Sesuai dengan  JVA kedua perusahaan, komposisi kepemilikan saham pada perusahaan patungan ditetapkan Pertamina sebesar 55% dan Rosneft 45%. Di luar itu, JVA juga mengatur mengenai manajemen perusahaan patungan, dan tata kelola, bahan baku, pemasaran dan offtake, prinsip-prinsip pendanaan, sumber daya manusia, standard clauses, dan langkah-langkah lebih lanjut untuk pelaksanaannya.

Belum diketahui berapa total investasi untuk pengembangan GRR Tuban. Awalnya, total investasi pembangunan Kilang Tuban diperkirakan US$ 13 miliar. Saat ini kedua perusahaan fokus menyelesaikan bankable feasibility study (BFS) atau studi kelayakan pendanaan bank, desain teknik dasar (BED), dan front end engineering design (FEED) yang diperkirakan awal 2017.  Setelah itu baru diketahui rincian investasi yang dibutuhkan untuk membangun kilang yang diproyeksikan tuntas pembangunannya pada 2021.

Menurut Wianda Pusponegoro, Vice President Corporate Communication Pertamina, selain kilang minyak, GRR Tuban juga juga akan dibangun unit catalytic cracker berskala besar dan kompleks petrokimia. NGRR Tuban juga didesain untuk dapat menerima VLCC supertanker dengan bobot mati hingga 300 ribu ton. Pertamina  terus berupaya dengan kerja terbaik dan cepat untuk dapat merealisasikan proyek yang sangat positif bagi ketahanan energi nasional ini karena akan mengurangi ketergantungan terhadap produk BBM impor.

“Selain GRR Tuban, Pertamina juga tengah menyiapkan proyek GRR di Bontang, Kalimantan Timur dan  program modifikasi kilang dalam proyek revitalisasi kilang (refinery development masterplan/RDMP) antara lain di Cilacap dan Balikpapan,” ujarnya.

Fase pertama RDMP Balikpapan berupa pengembangan Residual Fluid Catalytic Cracking (RFCC) baru berkapasitas 100 ribu barel per hari dengan proyeksi belanja modal US$ 2,6 miliar.  RFCC Balikpapan diproyeksikan tuntas pembangunannya pada 2019. Fase kedua berupa unit tambahan dengan taksiran belanja modal US$ 2 miliar dan diharapkan tuntas pembangunannya pada 2022. Saat ini sudah persiapan lahan dengan dimulai dari penyiapan pembangunan fungsi hunian sebagai penunjang.

RDMP kedua adalah Cilacap, dengan nilai investasi sebesar US$ 5miliar dan diproyeksikan tuntas pembangunannya pada 2022.  Pertamina telah memilih Saudi Aramco sebagai strategic partner dan Amex Foster Wheeler sebagai pelaksana BED. Kapasitas produksi RDMP Cilacap sekitar 20 ribu barel per hari.

Di luar itu, Pertamina juga menyiapkan GRR Bontang dengan taksiran kapasitas produksi mencapai 300  ribu barel per hari. Menurut Rachmad Hardadi, belanja modal untuk proyek yang diproyeksikan tuntas pembangunannya pada 2023 itu sekitar US$ 14 miliar melalui skema Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU) dengan Pertamina sebagai Penanggungjawab Kerja Sama Proyek (PJPK).

“Menteri Keuangan akan memberikan persetujuan untuk menunjuk IFC sebagai konsultan pendampingan transaksi.Kami menjajaki untuk menggunakan aset kilang LNG Bontang dalam proyek GRR,” ujar Rachmad.

RDMP diproyeksikan mendongkrak kapasitas pengolahan minyak mentah dari posisi saat ini sekitar 820.000 barel perhari menjadi 1,68 juta barel per hari atau dua kali lipat. Fleksibilitas kilang juga meningkat, yang antara lain ditunjukkan dengan kemampuannya untuk mengolah minyak mentah dengan tingkat kandungan sulfur setara 2 persen. Saat ini kandungan sulfur pada minyak mentah yang dapat ditoleransi hanya 0,2 persen.

Di luar dua proyek RDMP dan dua  GRR, Pertamina juga merancang pembangunan dua kilang minyak baru yang akan dibangun antara 2025-2030. Pertamina telah mengidentifikasi tiga lokasi strategis untuk membangun dua kilang tersebut, yaitu di wilayah regasifikasi Arun di Nanggroe Aceh Darussalam; wilayah Karimun, Kepulauan Riau; dan Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB). Namun, Pertamina belum memutuskan lokasi yang tepat di tiga wilayah itu kendati rencana pembangunan kedua kilang tersebut sudah masuk dalam peta jalan (roadmap) pembangunan kilang baru Pertamina untuk mencapai swasembada BBM pada 2030.

 

Komitmen Tinggi Pertamina

Kebijakan manajemen Pertamina mengembangkan kilang baru dan merevitalisasi kilang-kilang lama dalam proyek RDMP, patut diapresiasi dan layak diacungi jempol!  Apalagi Pertamina sebelumnya juga sukses dalam pengoperasian RFCC unit di areal Pertamina Refinery Unit (RU) IV Cilacap, Jawa Tengah, yang diresmikan Wakil Presiden M Jusuf Kalla, akhir November 2015. RU IV Cilacap adalah kilang terbesar Pertamina– dari total enam kilang milik perusahaan– dengan kapasitas produksi mencapai 348 ribu barel per hari.

rfcc-cilacap

Menteri BUMN Rini M Soemarno, Dirut Pertamina Dwi Soetjipto, dan Direktur Pengolahan Pertamina Rachmad Hardadi saat meninjau RFCC Cilacap

Saat ini, program revitalisasi kilang RFCC Cilacap sudah mulai dirasakan manfaatnya yang terlihat dari tren penurunan biaya pokok produksi (BPP). Selain itu, yield produk berharga dari nilai produksi BBM dan petrokimia yang lebih tinggi dibandingkan harga bahan baku (feedstock), juga meningkat. Dengan demikian, keberadaan RFCC Cilacap bisa meningkatkan kemandirian dan ketahanan energi nasional melalui peningkatan produksi bahan BBM dan non-BBM. Apalagi, RFCC Cilacap mampu menghasilkan  30 ribu barel premium per hari dan meningkatkan kapasitas produksi dari kilang perseroan. Padahal, kebutuhan BBM dan turunnannya saat ini hampir mencapai 1,68juta barel per hari. Enam kilang perseroan, yaitu RU II Dumai di Riau, RU III Plaju di Sumatera Selatan, RU V Balikpapan di Kalimantan Timur, RU VI Balongan di Indramayu, Jawa Barat, dan RU VII Kasim di Papua, tak sanggup memenuhi kebutuhan BBM nasional sehingga terpaksa harus impor. Apalagi, konsumsi BBM  tiap tahun terus meningkat. Selain untuk  bahan bakar pembangkit listrik, mayoritas penggunaan BBM untuk bahan bakar kendaraan bermotor.

Jika kebijakan konversi BBM ke bahan bakar gas dan energi baru dan terbarukan tidak mulus, diperkirakan konsumsi BBM akan terus meningkat, terutama untuk sektor transportasi. Lihat saja populasi kendaraan bermotor. Menurut catatan Korps Lalu Lintas (Korlantas) Polri, sampai pertengahan Agustus 2016 populasi kendaraan yang ada di seluruh Nusantara mencapai 124.348.224 unit. Data itu didapat dari pendaftaran registrasi kendaraan terhitung sampai Juli 2016. Sementara tiap tahun,  pertumbuhan kendaraan bermotor berkisar 7-8 juta, sebesar 10–15 persen kontribusinya datang dari mobil. Berapa banyak BBM tiap tahun yang harus dipasok oleh Pertamina?

Melihat fakta tersebut, tak heran bila porsi penggunaan BBM dalam bauran energi final nasional selama satu dasawarsa terakhir selalu tinggi, melewati level 55 persen. Itu artinya, ketergantungan pemenuhan kebutuhan energi nasional terhadap BBM masih tinggi. Tingkat konsumsi BBM tumbuh rata-rata 6-8 persen setiap tahun, dengan tingkat konsumsi BBM saat ini  di atas 1,5 juta barel per hari.

Dengan ketergantungan energi nasional terhadap BBM masih tinggi dan pasokan akan impor masih belum berkurang secara optimal,  ketahanan energi nasional jelas sangat rentan. Gangguan keamanan produksi minyak mentah dan BBM dunia berarti juga gangguan serius terhadap ketersediaan pasokan BBM nasional. Apalagi produksi siap jual (lifting) minyak nasional juga tak pernah beranjak naik. Buktinya, dalam APBN 2015 dari target lifting minyak 825 ribu barel per hari, realisasinya hanya sekitar 778 ribu barel per hari. Tahun ini ditargetkan lifting minyak dalam APBN Perubahan sebesar 820 ribu barel per hari, tahun depan malah target diturunkan menjadi hanya 815 ribu barel per hari, bahkan awalnya hanya 780 ribu barel per hari.

Karena itu, mengembangkan kilang baru dan merevitalisasi  kilang lama untuk memproduksi BBM dan produk  yang memiliki nilai tambah bukan lagi pilihan, melainkan keharusan.  Indonesia sebagai negara yang masih bergantung pada minyak, sesungguhnya tidak hanya dihadapkan pada konsumsi yang berlebih, tetapi juga strategi penyediaan cadangan strategis untuk menjamin ketahanan energi nasional. Padahal, sejumlah negara di Asia Pasifik seperti Vietnam, Thailand, China, dan India  menyadari betul urgensi pembangunan kilang baru untuk memenuhi kebutuhan BBM negaranya. Mereka berlomba menawarkan insentif fiskal dan nonfiskal untuk mendorong pembangunan kilang. Keringanan pajak, pembebasan bea masuk impor, pembebasan atau pengurangan biaya sewa lahan, hingga kemudahan birokrasi diberikan untuk mempercepat pembangunan kilang.

Indonesia sejatinya tak boleh kalah dengan Singapura. Negeri jiran tersebut bahkan tak punya sumur minyak, tapi tiga kilang dengan kapasitas besar ada di sana, masing-masing milik ExxonMobil Jurong Island Refinery dengan kapasitas 605.000 barel per hari (bph), Singapore Refinery Company Jurong Island Refinery 285.000 bph, dan Pulau Bukom Refinery 458.000 bph. Tak heran bila Singapura kini berusaha menempatkan negaranya sebagai pusat energi dan petrokimia di Asia Tenggara.

Menurut Kurtubi, Anggota Komisi VII DPR dari Fraksi Partai Nasdem, meskipun terlambat, pengembangan kilang baru dan revitalisasi kilang lama Pertamina merupakan langkah yang bagus. Saat ini yang bisa dilakukan adalah meningkatkan kapasitas dan teknologi dari kilang minyak yang sudah ada, sambil berusaha untuk terus membangun kilang baru yang berorientasi pada pengolahan minyak impor.

“Indonesia tidak lagi bisa berharap pada produksi minyak nasional yang terus turun setiap tahunnya karena orientasi kilangnya untuk pengolahan minyak impor. Kilang tak perlu lagi dibangun di dekat lokasi produksi minyak,” ujarnya.

Menurut dia, pembangunan kilang akan memberi dampak positif bagi ketahanan energi nasional. Selain itu, pengembangan kilang juga  membuka lapangan kerja dan dapat meningkatkan perekonomian bagi wilayah di sekitar lokasi pembangunan kilang. “Dan yang tidak kalah penting adalah pembangunan kilang ini akan meningkatkan produksi nasional serta mengurangi impor minyak,” katanya.

Proyek revitalisasi kilang dan pembangunan kilang baru (grass root refinery/GRR) yang dilakukan Pertamina sejatinya menyerap tenaga kerja besar-besaran. Revitalisasi dan pengembangan kilang tersebut menciptakan dampak berantai (multiplier effect) cukup besar. Untuk proyek GRR Tuban saja, Pertamina memproyeksikan kebutuhan tenaga kerja sebanyak 20 ribu orang dan menciptakan multiplier effect hingga enam kali lipat.

Komaidi Notonegoro, Direktur Eksekutif ReforMiner Institute menilai,  terhambatnya pembangunan kilang di Indonesia  terletak pada insentif fiskal yang diminta oleh investor. Pemerintah terkesan enggan memberikan intensif fiskal karena dinilai permohonan tersebut berlebihan.  Karena itu, penting tidaknya pembangunan kilang baru, sangat bergantung pada objektivitas pemerintah. “Kalau pemerintah berpikir belum urgent juga bisa sehingga diputuskan beli (impor) BBM, tentu dengan harga yang lebih mahal,” ungkapnya.

 

Dukungan Pemerintah 

Pengembangan kilang baru sejatinya tidak mudah dilakukan, mengingat kebutuhan biaya investasi yang cukup tinggi dengan tingkat pengembalian investasi yang cukup panjang. Butuh modal besar, berkisar US$ 9 miliar-US$ 10 miliar untuk membangun satu kilang, dengan perhitungan pengembalian modal yang cukup panjang karena profit margin kecil. Selain itu juga harus ada jaminan pasokan minyak mentah setidaknya untuk masa 30 tahun.

Menurut Komaidi, integrasi bisnis kilang dengan industri turunan seperti petrokimia bisa jadi pilihan untuk profit yang lebih baik. Konfigurasi kilang yang mengintegrasikan produk minyak dengan petrokimia selain untuk meningkatkan keekonomian kilang juga untuk menekan impor. Maklum, selama ini Indonesia mengimpor produk BBM dan petrokimia dalam jumlah yang cukup tinggi, kendati belakangan turun seiring beroperasinya RFCC Cilacap.

Di sisi lain, dukungan pemerintah untuk pengembangan  kilang baru juga sangat positif. Presiden Joko Widodo bahkan sangat peduli terhadap pengembangan kilang minyak untuk penampungan serta pengolahan minyak mentah menjadi bahan bakar siap pakai. Presiden bahkan meminta kepada para menteri terkait agar tahun ini sudah ada keputusan pembangunan kilang agar mata rantai pasokan tidak terlalu panjang.

“Tidak usah lewat trader-trader lagi, trading-trading lagi. Jangan ditunda-tunda (bangun kilang),” kata Kepala Negara di Jakarta, baru-baru ini.

Komitmen Pemerintahan Jokowi pun ditunjukkan dari terbitnya sejumlah regulasi yang mendukung pengembangan kilang baru. Bahkan, baru di era Jokowi upaya untuk mewujudkan pembangunan kilang baru semakin masif. Salah satunya adalah dukungan pemerintah dalam penguatan regulasi untuk mendorong pembangunan kilang baru. Misalnya, pada akhir 2015, Presiden mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) No 146 Tahun 2015 tentang Pelaksanaan Pembangunan dan Pengembangan Kilang Minyak di Dalam Negeri. Lewat Perpres ini, Jokowi berharap ada akselerasi dalam kegiatan investasi pembangunan kilang di Indonesia.

Persoalan yang selama ini menghambat pembangunan kilang baru seperti besarnya investasi dan keekonomian dari pembangunan kilang ini diakali pemerintah dengan beragam solusi. Mulai dari menawarkan beragam insentif, mulai dari keringanan pajak, kemudahan perizinan, hingga penyediaan lokasi pembangunan kilang. Semua itu dilakukan demi menggaet investor agar mau menanamkan modalnya di Indonesia.

Di luar itu, Presiden Jokowi juga menerbitkan Perpres No 3 Tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional. Dalam konteks ini, pemerintah menetapkan proyek pembangunan kilang minyak sebagai proyek strategis nasional dengan skema Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha dengan menunjuk Pertamina sebagai Penanggung Jawab Kerja Sama Proyek. Salah satu yang ditetapkan sebagai proyek strategis percepatan infrastruktur adalah pembangunan kilang di Bontang.

Regulasi paling mutakhir adalah terbitnya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 129/PMK.08/2016 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 265/PMK.08/2015 tentang Fasilitas Dalam Rangka Penyiapan dan Pelaksanaan Transaksi Proyek Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha Dalam Penyediaan Infrastruktur, yang diteken Sri Mulyani Indrawati pada 23 Agustus 2016. Beleid tersebut sebagai respons pemerintah untuk membenahi kembali sektor hulu dan hilir migas yang terbengkalai puluhan tahun, salah satunya pembangunan kilang yang lebih dari dua dekade belum terealisasi.

Terobosan kebijakan ini ditindaklanjuti oleh rencana pemerintah membangun delapan kilang mini. Menurut Dirjen Migas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral IGN Wiratmadja Puja, pembangunan kilang mini diharapkan dapat mengurangi biaya transportasi pengangkutan BBM ke kilang besar.  “Produksi minyak di tempat-tempat ini dari mana-mana biaya angkut mahal dibawa ke kilang besar. Ini kalau bisa kilang di sana dan langsung didistribusikan di sana bisa mengurangi biaya transportasi,” ujarnya.

Menurut rencana, delapan kilang mini yang akan dilelang akhir tahun ini antara lain di Sumatera Utara, Selat Panjang Malaka, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Selatan, Kalimantan Utara, dan Maluku. Kilang-kilang mini yang akan dilelang memiliki kapasitas produksi rata-rata hingga 20.000 barel per harinya. Jumlah tersebut akan didistribusikan ke daerah-daerah terdekat kilang mini. “Kapasitas maksimal 20.000 barel, lokasi delapan cluster sudah ditetapkan. Pembangunan akan dilakukan oleh badan usaha. Sumber pasokan dari cluster dan dari impor apabila produksi tidak mencukupi,” kata Wiratmadja.

Lelang akan dilakukan kepada badan usaha. Namun, jika sampai akhir periode lelang belum ada badan usaha yang berminat, pembangunan kilang mini akan diserahkan kepada Pertamina. “Sistem seleksi kalau lebih dari satu badan usaha kami seleksi di Kementerian ESDM. Kalau tidak ada yang minat,  diberikan ke Pertamina,” katanya.

Revitalisasi dan pengembangan kilang minyak baru memang tak bisa ditawar lagi. Sudah saatnya pemerintah fokus untuk mendukung penuh pengembangan infrastruktur energi. Situasi darurat energi nasional sudah di depan mata. Tidak ada jalan lain,  pembangunan infrastruktur di sektor ini mutlak dan harus menjadi prioritas utama. (dudi rahman)