JAKARTA – DPR dan pemerintah sepakat sudah saatnya dilakukan revisi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (Minerba). Salah satunya karena beberapa amanat UU yang tidak terpenuhi. Pihak DPR bahkan optimistis revisi tersebut akan selesai pada pertengahan 2016. Sementara pemerintah berharap revisi tuntas sebelum 2017.

Bambang Gatot Ariyono, Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), mengatakan setidaknya pada pertengahan tahun draf terkait dengan revisi UU Minerba sudah diselesaikan. Sehingga sebelum 2017 sudah selesai, serta seluruh PP yang tidak sesuai akan ternulir otomatis.

“Kita harapkan UU ini akan selesai sebelum 2017. Sehingga peraturan dibawahnya akan teranulir seluruhnya. Makanya saya katakan sebelum UU selesai, dari sekarang PP  diperlukan disiapkan. Begitu UU selesai kita proses penerbitan PP segera,” kata dia.

Pada 2017 menjadi tahun krusial khusus bagi sektor mineral karena di tahun ini sesuai Permen 01 Tahun 2014 dan kemudian direvisi pada Permen ESDM No.05 Tahun 2016 menjadi tahun terakhir bagi perusahaan untuk diperkenankan izin ekspor konsentrat. Meski selama ini kebijakan tersebut hanya dimanfaatkan oleh beberapa perusahaan seperti PT Freeport Indonesia dan PT Newmont Nusa Tenggara.

Jannus TH Siahaan, pengamat pertambangan, mengatakan yang dibutuhkan pelaku usaha dalam kondisi saat ini adalah dukungan pemerintah agar bisa bertahan di tahun sulit. salah satu dukungannya tentu saja lewat kepastian hukum.“Pelaku usaha pertambangan saat ini sedang berjuang bertahan di tengah melemahnya harga komoditi. Oleh karenanya pemerintah  jangan membebani kalangan pelaku usaha dengan berbagai kewajiban baru. Mereka untuk bertahan saja sudah bersyukur,”kata Jannus.

Menurut Jannus, revisi UU Minerba diharapkan agar kepentingan perusahaan tidak hanya perusahaan besar tetapi juga perusahaan skala menengah dan kecil juga diakomodir. Dan lebih penting lagi revisi UU Minerba harus memperkuat posisi pemerintah dalam hal pengelolaan sumber daya alam tambang. “Pemerintah harus diberi kewenangan yang lebih besar dalam mengatur sektor pertambangan sehingga bisa memberi manfaat yang lebih besar bagi negara dan masyarakat,”ungkap Jannus.

Selama ini yang terlihat beberapa regulasi lebih mengakomodir kepentingan perusahaan perusahaan skala besar. Sebut saja saat ini, PT Freeport Indonesia masih diberi kesempatan ekspor konsentrat meski beberapa persyaratan belum terpenuhi. “Jangan sampai ada kesan diskrimasi dalam penerapan kebijakan,”katanya.

Jannus mengingatkan dengan tanpa mengabaikan upaya mengamankan kepentingan rakyat dan kondisi perekonomian domestik, pemerintah sudah seharusnya konsisten dalam menegakkan kedaulatan ekonomi negara dalam konteks pemberlakuan kebijakan dan aturan kepada perusahaan multinasional. ” Dalam kebijakan investasi di negara ini sebaiknya negara bisa bersikap tegas untuk merujuk pada aturan main yang berlaku dan tidak memberikan ruang sekecil apapun bagi tekanan politik pemerintah negara besar,”tegas dia.

Sementara itu, Ferdinand Hutahean, Direktur Eksekutif Energy Watch Indonesia, mengingatkan pemerintah untuk membatalkan rencana penghapusan kewajiban pembangunan pabrik pengolahan dan pemurnian (smelter) mineral dari UU Minerba serta membatalkan rencana pemberian izin seumur hidup bagi perusahaan tambang.

“Rencana menghapus kewajiban smelter dan izin tambang seumur hidup merupakan upaya pelemahan negara. Saat ini 85% sumber daya alam kita dikuasai asing, jika semua kelak dikuasai seumur hidup, anak cucu bangsa nanti dapat apa?” tandas Ferdinand.(EA/RA)