JAKARTA – Kuota BBM jenis Premium pada tahun ini akan bertambah besar seiring revisi  Peraturan Presiden Nomor 191 Tahun 2014 tentang penyediaan, pendistribusian dan harga jual eceran bahan bakar minyak resmi disahkan  Presiden Joko Widodo.

Revisi Perpres 191 membuat Premium dengan kadar oktan (research octane number/RON) 88 wajib disalurkan ke seluruh wilayah Indonesia, tidak hanya di luar wilayah Jawa Madura Bali (Jamali) seperti sekarang ini. Dengan penambahan area distribusi tersebut,  pasokan Premium dipastikan akan meningkat.

M. Fanshurulah Asa, Kepala Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas (BPH Migas), mengatakan data BPH Migas pada  2017 realisasi penyaluran Premium di Jamali mencapai 5,1 juta kiloliter (KL). Artinya butuh paling tidak penambahan volume yang sama untuk 2018, jika Perpres baru diterbitkan dan Premium wajib tersedia di Jamali.

“Data BPH Migas 2017 realisasi Premium 5,1 juta Kl untuk Jamali. Artiya kalau nanti setelah perpres keluar minimal 7,5 juta KL (kuota APBN 2018) plus 5,1 juta KL. Artinya 12,5 juta KL,” kata Fanshurulah di Jakarta, Selasa (15/5).

Menurut Fanshurulah, meskipun regulasi baru diterapkan menjelang akhir semester pertama tahun ini,  kebutuhan Premium diproyeksikan tetap tinggi karena ada pertumbuhan ekonomi, penambahan jumlah kendaraan bermotor serta perubahan pola konsumsi bahan bakar.

“Dampak kenaikan harga Pertalite memicu pergeseran, pengguna balik ke Premium,” tukas dia.

Fanshurulah menegaskan akan segera memanggil manajemen PT Pertamina (Persero) untuk membahas implementasi revisi Perpres 191 nanti. Pasalnya harus ada kesiapan infrastruktur penunjang.

Penggunaan Pertalite dengan kualitas yang lebih baik karena memiliki RON90 dalam beberapa tahun terakhir sebenarnya sudah meningkat signifikan. Apalagi saat harga minyak dunia anjlok membuat selisih harga antara Pertelite dan Premium tidak terlalu jauh. Namun setelah harga minyak naik, Pertamina juga melakukan penyesuaian harga BBM, termasuk Pertalite hingga menjadi Rp 7.800 per liter. Masalahnya, harga Premium yang seharusnya juga disesuaikan pemerintah, tetap dipatok Rp6.550 per liter.

Data BPH Migas menyebutkan ada sekitar 3.900 Stasiun Pengisian Bahanbakar Umum (SPBU) di Jamali, dan sekitar  1.900 SPBU tidak lagi menyediakan nozzle Premium. Itulah yang harus disiapkan oleh Pertamina fasilitas dan infrastrukturnya.

“Perlu ganti nozzle, data kami pada 2017 ada 800 SPBU yang tidak jual Premium. Sekarang sudah naik menjadi 1.900 SPBU,” ungkap Fanshurulah.

Dia menambahkan ketersediaan Premium hanya sebagai pilihan kepada masyarakat. Meskipun, Premium memiliki kualitas sangat rendah. Bahkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) merekomendasikan Pertamina untuk memasok BBM kualitas baik, seperti Pertamax Turbo selama Asian Games digelar di Jakarta dan Palembang.

“Pertamina harus memberikan pilihan dari harga bensin murah sampai yang mahal. Kalau masyarakat pakai Pertalite dan Pertamax bagus, tapi jangan sampai dipaksa sampai tidak ada Premium,” ungkap Fanshurullah.

Djoko Siswanto, Direktur Jenderal Migas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) saat dikonfirmasi menyatakan pemerintah menargetkan revisi Perpres paling lambat sudah bisa terbit pada bulan ini. Hal ini bertujuan untuk memberikan persiapan kepada Pertamina mempersiapkan infrastruktur, sehingga saat masa mudik dan libur lebaran Premium sudah tersedia diseluruh wilayah Jamali.

Dia mengatakan butuh waktu untuk kembali menyiapkan infrastruktur BBM jenis Premium karena tangki penyimpan misalnya harus dikuras terlebih dulu agar kualitas bahan bakar juga optimal.

“Perlu waktu untuk ganti nozzle Pertalite kembali ke Premium. Target secepatnya. Kami berharap (batas waktu) sebelum lebaran, seminggu sebelum lebaran sudah ada premium semua,” ungkap Djoko.

Penambahan kuota menjadi opsi memenuhi kebutuhan, namun pada tahap awal Pertamina bisa menggunakan terlebih dulu pasokan yang tidak terserap di tiga bulan pertama yang sudah dialokasikan.

“Tiga bulan pertama, kuota premium baru terserap 50% dibanding tahun sebelumnya. Nah masih ada kuota itu didistribusikan dulu misalnya di Jawa, Bali, Madura. Nanti kurangnya berapa, kami tambah,” tandas Djoko.(RI)