JAKARTA – Rencana pemerintah memperbaharui peraturan di bidang pertambangan mineral dan batu bara (Minerba) dinilai akan lebih memberikan kepastian usaha bagi semua Pemegang Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan dan Batu Bara (PKP2B).

Fahmy Radhi, Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada, mengatakan langkah pemerintah tersebut akan memberikan kepastian bagi perusahaan untuk mempertimbangkan dan memperhitungkan keputusan untuk perpanjangan kontrak pertambangan dan batu bara.

“Mengingat investasi di bidang minerba membutuhkan dana dalam jumlah besar dan waktu return investment dalam jangka panjang, maka perpanjangan waktu pengajuan perpanjangan kontrak sangat realistis yang menguntungkan bagi investor, sehingga menjadikan iklim investasi di Indonesia semakin kondusif,” kata Fahmy, Selasa (13/11).

Dalam revisi keenam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Minerba, pemerintah memperpanjang jangka waktu pengajuan perpanjangan  kontrak dari dua tahun menjadi lima tahun sebelum kontrak berakhir. Masa perpanjangan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) adalah sisa waktu kontrak ditambah waktu perpanjangan 1×10 tahun.

Awalnya, perubahan waktu perpanjangan tersebut untuk mengakomodasi PT Freeport Indonesia dan PT Amman Mineral, namun perubahan aturan tersebut juga  diberlakukan kepada PKP2B.

Selain perpanjangan waktu kontrak, perubahan PP 23/2010 juga mengatur penerimaan negara dari pajak dan royalti. Sebelumnya, pemegang PKP2B harus membayar pajak PPh Badan sebesar 45% akan diturunkan menjadi sebesar 25%. Penurunan PPh Badan diikuti dengan kenaikan Dana Hasil Batu Bara (DHPB) dari 13,5 menjadi 15℅ dan tambahan pajak 10% dari laba bersih.

Perubahan tarif pajak itu relatif lebih adil diterapkan bagi pemegang PKP2B. Namun, perubahan itu tidak menurunkan penerimaan pajak pemerintah lantaran ada kenaikan tarif DHPB dan penambahan pajak terhadap laba bersih.

Menurut Fahmy, perubahan PP 23/2010 tidak hanya memberikan kepastian usaha bagi investor dan pengenaan tarif pajak yang lebih adil, tetapi juga meningkatkan penerimaan negara dari pajak, sekaligus menciptakan iklim investasi yang lebih kondusif.

“Tidak berlebihan dikatakan bahwa revisi PP 23/2010 cenderung sebagai investment friendly,” kata Fahmy.(RA)