JAKARTA – Langkah pemerintah  merevisi aturan gross split dinilai menandakan pemerintah tidak kaku dan mau berbenah dengan kondisi yang tidak berjalan sesuai rencana. Namun ada masalah lain yang masih belum terselesaikan melalui revisi tersebut.
“Persoalan yang masih tersisa adalah  masalah perpajakan, sistem dan mekanisme perpajakan seperti apa yang akan diterapkan kepada sistem kontrak gross split ini,” kata Pri Agung Rakhmanto, Pengamat Migas dari Universitas Trisakti kepada Dunia Energi, Senin (18/9).
Masalah lain yang masih tersisa dan cukup krusial adalah masalah konsistensi dan kelogisan atau kelaziman bisnis antara pola pengadaan barang dan jasa yang sudah dinyatakan mandiri, tetapi disisi lain masih dinyatakan sebagai aset negara.
Persoalan lain ialah mengenai permasalahan teknis yang tidak bisa dipandang sebelah mata.
Menurut Pri Agung, kontraktor akan kesulitan  mengimplementasikan gross split versi terbaru pemerintah tersebut.
“Bagaimana penentuan, monitoring dan penuangan variabel split yang banyak tersebut dituangkan ke dalam kontrak, bagaimana mekanisme pengembalian investasi yang sudah dikeluarkan sebelum menggunakan gross split,” ungkap Pri.
Dalam revisi regulasi Gross Split ada beberapa poin utama perubahan yang dilakukan oleh pemerintah.
Pertama yakni pemerintah menambah komponen baru pada variable split di fase pengembangan. Kemudian pada komponen ketersediaan infrastruktur pendukung, variabel new frontier bertambah dua yakni new frontier offshore dengan bobot 2% dan new frontier onshore 4%.
Selanjutnya adalah pada komponen tingkat kandungan H2S, bobot tertinggi yang bisa didapat sebesar 5% dari semula 1%.
Untuk komponen TKDN, insentif baru diberikan 2% tambahan split untuk capaian 30% hingga 50%.
Untuk komponen tahapan produksi, bobot ditambah dari semula, 3% sekunder dan 5% tersier, menjadi 6% dan 10% secara berturut-turut.
Perubahan selanjutnya adalah terjadi pada komponen progresif, dimana pemberian insentif dari harga minyak menggunakan formula (85-ICP)x0,25. Dengan asumsi ICP 50, kontraktor bisa mendapat tambahan split 8,75% atau lebih tinggi dari tambahan split di permen sebelumnya yang menggunakan jenjang yaitu 5% untuk jenjang harga minyak 40-55.
Hal yang menarik adalah terdapat komponen baru pada progresif split yaitu harga gas menggunakan formula: untuk harga gas US$7 per MMBTU,  bobot yang didapat (7-harga gas)x2,5. Sementara, untuk harga gas US$7-10 per MMBTU bobotnya 0%. Kemudian, untuk harga lebih dari 10 formulanya (10-harga gas)x2,5.
Untuk komponen kumulatif produksi yang sebelumnya dimulai dengan 1 MMboe dengan bobot 5%, kini diubah menjadi mulai dari 30 MMboe dengan bobot 10%.
Salah satu perubahan signifikan adalah terkait hak menteri atau diskresi Menteri ESDM yang memiliki ruang tambahan split tidak dibatasi.
Pemerintah mengakui bahwa para kontraktor pasti akan membutuhkan waktu untuk melakukan perhitungan dalam dengan menggunakan skema baru ini. Untuk itu pemerintah telah memperpanjang masa lelang Wilayah Kerja (WK) Migas pada periode pertama tahun ini yang semula batas penwaran kontraktor pada bulan september diperpanjang hingga bulan November.
Menurut Pri Agung, dampak dari perubahan Gross Split terhadap iklim investasi saat ini masih bersifat netral dengan masih menyisakan sedikit negatif karena masih menyisakan beberapa ketidakpastian. Namun tidak tertutup kemungkinan pasar akan merespon berbeda perubahan tersebut.
Pemerintah juga masih harus melakukan pekerjaan ekstra untuk membuktikan bahwa ada kemudahan dalam berbisnis migas di tanah air.
“Poin yang menjadi kunci, ease of doing business misalnya kemudahan perizinan, birokrasi pengambilan keputusan, konsistensi peraturan, dan sanctity of contract,” tandas Pri.(RI)