Sumur panas bumi Kamojang.

Panas bumi, salah satu energi baru terbarukan yang belum dikembangkan secara optimal di Indonesia.

JAKARTA – Revisi atau perubahan asumsi makro ekonomi yang dilakukan pemerintah, diantaranya yang terkait dengan diturunkannya patokan harga minyak Indonesia dan target lifting 2013, dinilai oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai cermin buruknya tata kelola energi di negeri ini.   

Anggota Komisi VII DPR, Rofi’ Munawar menuturkan, rendahnya produksi dan lifting minyak nasional di Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (RAPBN-P) 2013 yang hanya mencapai 840 ribu barel per hari, jauh dibawah target yang ditetapkan dalam APBN tahun 2013 sebesar 900 ribu barel per hari, telah menyebabkan struktur asumsi makro ekonomi nasional berubah.

Di sisi lain, ujarnya, besarnya volume impor minyak nasional menyebabkan kenaikan biaya impor yang berpengaruh langsung terhadap defisit neraca perdagangan nasional tahun 2013.

Ironisnya, kata Rofi’, selama ini pemerintah tidak memiliki terobosan energi yang revolusioner, untuk mengurangi ketergantungan terhadap energi fosil, padahal penurunan produksi minyak nasional sejak satu dekade terakhir telah di bawah 1 juta barel per hari.

“Pemerintah saat ini mengalami kegagalan di sektor produksi, distribusi dan konsumsi migas. Diantaranya, tercatat ada tiga kegagalan terkait BBM, mulai dari kegagalan produksi minyak dan stagnannya pengembangan energi terbarukan,” ujar Rofi’ di Jakarta, Kamis, 30 Mei 2013.

Menurutnya, kegagalan distribusi yang terbukti dengan banyaknya pihak yang tidak berhak mengonsumsi bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi, dan kegagalan konsumsi yang berujung dengan disalahkannya masyarakat yang dianggap boros mengonsumsi BBM bersubsidi.

Dalam asumsi dasar ekonomi makro RAPBN-P 2013, urainya, pertumbuhan ekonomi yang tadinya diasumsikan 6,8 persen dalam APBN 2013 turun menjadi 6,2 persen. Selain memangkas pertumbuhan ekonomi tersebut, pemerintah juga mengusulkan perubahan tingkat inflasi dari 4,9 persen menjadi 7,2 persen, serta penurunan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS dari Rp 9.300 menjadi Rp 9.600.

Terakhir, kata Rofi’, pemerintah menetapkan harga minyak Indonesia (ICP) dari US$ 100 per barel turun menjadi US$ 108 per barel, dan penurunan lifting minyak dari 900 ribu barel per hari menjadi 840 ribu barel per hari.

“Dari asumsi makro ini kita dapat melihat cermin kegagalan pemerintah dalam membuat berbagai kebijakan terkait tatakelola energi nasional agar masyarakat dapat mengakses energi yang relatif murah dan berkelanjutan,” tegas wakil rakyat dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (FPKS) ini.

Ketua Kelompok Komisi (Kapoksi) dari Fraksi PKS ini menambahkan, dampak dari produksi yang tidak tercapai tersebut, membuat impor migas meningkat karena harus memenuhi konsumsi dalam negeri yang cenderung naik dari tahun ke tahun.

Sehingga, ujarnya, impor yang meningkat tersebut menyebabkan rusaknya neraca perdagangan dan anggaran yang telah direncanakan pemerintah. Karena kontribusinya yang besar kepada penerimaan APBN, produksi/lifting minyak nasional akan mempengaruhi besaran asumsi APBN dan realisasinya pada akhir tahun. Namun langkah pemerintah selama ini dalam mendorong produksi tersebut tidak banyak membuahkan hasil yang maksimal.

“Tanpa pengembangan lapangan minyak baru dan upaya optimasi produksi di lapangan yang ada, produksi minyak nasional setiap tahun berkurang sebesar 110 ribu barel per hari. Ditambah tanpa adanya program diversifikasi dan konversi energi maka dipastikan ketergantungan akan impor minyak semakin tinggi,” ujar Rofi’ lagi.

Ia mencatat, prosentase penerimaan dari minyak dan gas bumi saat ini sekitar 20% terhadap keseluruhan penerimaan Negara dalam APBN. Sehingga target produksi/lifting minyak nasional dan harga minyak merupakan bagian dari asumsi utama dalam penyusunan APBN, bersama dengan kurs tukar rupiah terhadap dollar Amerika.

(Iksan Tejo / duniaenergi@yahoo.co.id)