JAKARTA-Manajemen PT Bumi Resources Tbk (BUMI), salah satu emiten pertambangan batubara terbesar di Tanah Air, sedikit bisa tersenyum. Maklum, harga saham Bumi pada  perdagangan Senin (28/11) ditutup menguat. Harga saham  perusahaan dalam kelompok usaha Bakrie ini naik 3,55 persen sebesar 10 poin ke level Rp 292 per saham dibandingkan penutupan perdagangan Jumat  (25/11). Imbal hasil saham BUMI  mencapai 484 persen year-to-date dengan kapitalisasi pasar Rp 10,69 triliun.

Tak hanya harga saham yang mulai positif, kesumringahan manajemen dan pemegang saham Bumi juga dipicu oleh keputusan majelis hakim  Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. Kemarin, Majelis Hakim Pengadilan Niaga Jakarta Pusat mengesahkan perdamaian dalam kasus restrukturisasi utang Bumi dengan para kreditornya. Dengan demikian, permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) kelompok usaha dalam Grup Bakrie tersebut resmi berakhir dengan damai. Dalam PKPU, tagihan Bumi diketahui mencapai Rp 135,78 triliun dari 270 kreditor, terdiri atas Rp 52,85 triliun dari 61 kreditor pemegang jaminan (separatis) dan Rp 82,92 triliun dari 146 kreditor  konkuren.

Menurut Tafsir Sembiring, Ketua Majelis Hakim Pengadilan Niaga Jakarta Pusat yang menyidangkan perkara tersebut,  berdasarkan laporan dari hakim pengawas telah didapat hasil pemungutan suara (voting) terhadap proposal perdamaian Bumi. Sebanyak 100 persen kreditor konkuret dan 99,84 persen kreditor separatis setuju proposal perdamaian.

“Berdasarkan ketentuan UU Kepailitan dan PKPU, majelis menyatakan sah dan mengikat secara hukum proposal perdamaian debitor dengan para kreditornya dan menyatakan PKPU Bumi Resources resmi berakhir,” kata Tafsir dalam amar putusannya.

Pascakeputusan majelis hakim Pengadilan Niaga Jakarta Pusat, Bumi sejatinya tunduk dan menjalani perjanjian perdamaian yang telah disepakati.  Salah satu klausul yang disepakati adalah utang BUMI yang akan dikonversikan menjadi saham (debt to equity swap) dan surat utang baru serta penerbitan saham baru (rights issue) yang dijadwalkan paling lambat pada 30 Juni 2017.

Harga saham sebagai tukar guling utang menjadi saham (debt to equity convertion)  disepakati Rp 926,16 per saham, turun dari penawaran awal Rp 1.149 per saham. Bumi menghitung ekuitas bersih US$ 4,6 miliar dari valuasi internal. Jumlah saham setelah restrukturisasi utang sebesar 65,73 miliar saham dari sebelumnya 36,62 miliar saham. Saham baru yang diterbitkan dari hasil konversi utang mencapai 29,1 miliar saham.

“PKPU secara resmi telah meratifikasi hasil hasil pemungutan suara kreditor  terkait restrukturisasi utang yang digelar pada 9 November 2016,” ujar Dileep Srivastava, Direktur dan Corporate Secretary Bumi.

dileep-srivastava

Dileep Srivastava, Direktur dan Corporate Secretary Bumi Resources

PKPU Bumi memang beberapa kali molor. Sebelumnya, PKPU dijadwalkan tiga kali, yaitu pada Juni, September, dan Oktober 2016. Semuanya kandas. Belakangan, Bumi akhirnya mengantongi PKPU.

Selain rights issue, dalam kesepakatan perdamaian, Bumi juga akan menerbitkan mandatory convertible bonds (MCB), pemberian employee stock option program (MSOP), dan penerbitan saham kepada kreditor konkuren. Jika seluruh rencana tersebut dieksekusi, komposisi pemegang saham perseroan akan menjadi China Investment Corporation (CIC) sebesar 22,6% dari sebelumnya 16,9% dan delapan pihak lain merupakan pemegang saham baru, yang sebelumnya nihil atau belum memiliki saham Bumi. Mereka adalah pemegang senior notes 2016 dengan potensi kepemilikan saham 4,6%, pemegang senior notes 2017 sebesar 10,6%, Credit Suisse selaku pemberi fasilitas pinjaman I sebesar 2%, UBS sebesar 0,8%, Axis Bank 0,8%, Deutsche Bank 0,7%, Raiffeisen Bank International 1,2%, dan Credit Suisse selaku pemberi fasilitas pinjaman 2 sebesar 1,6%.  “Transaksi tersebut juga akan membuat kepemilikan publik terdilusi menjadi 55,2% dari sebelumnya 83,1%,” ujar Dileep dalam penjelasan resmi.

 

Adakah Prospek?

Dalam laporan keuangan hingga semester I 2016,  secara umum belum ada perbaikan berarti dari kinerja keuangan Bumi Resources. Pendapatan perusahaan merosot 40,45 persen  menjadi US$12,77 juta pada semester I 2016 dari periode yang sama tahun sebelumnya US$21,49 juta. Perseroan tidak mencatatkan beban pokok pendapatan sehingga laba kotor hanya terkoreksi 35,8 persen dari US$19,89 juta.

Beban usaha Bumi tercatat membengkak 7,9 persen  menjadi US$14,54 juta dari US$13,47 juta, dan labanya masih minus alias rugi US$ 11,8 juta. Ekuitas perusahaan juga masih minus alias defisiensi modal sebesar US$ 2,8 miliar, dan Bumi punya utang jangka panjang yang akan jatuh tempo dalam setahun ke depan sebesar US$ 3,6 miliar.

Dari sisi operasional, Bumi mungkin baru saja melewati masa-masa tersulitnya pada 2015 lalu karena sepanjang Januari – Juni 2016, situasinya sedikit banyak mulai ada perbaikan. Pada 2015, perusahaaan menjual 79,3 juta ton batubara, turun 6,4% dibandingkan 2014, sementara harga jual batubaranya juga hanya US$ 45 per ton, anjlok dibanding US$ 53 per ton pada 2014. Namun, seperti kebanyakan perusahaan batubara lainnya, Bumi sepanjang 2015 sukses menekan biaya operasional untuk produksi batubaranya,  di luar biaya finansial seperti beban bunga utang. Perusahaan bahkan bisa menurunkan cash cost menjadi US$ 30 untuk setiap ton batubara yang ditambang, dari sebelumnya US$ 35 per ton.

Di sisi lain, volume penjualan batubara perusahaan sepanjang Januari-Juni 2016 tercatat 41,9 juta ton, atau kembali meningkat 5.1% dibanding periode yang sama 2015, dan cash cost-nya kembali turun jadi US$ 27 per ton. Dan meski harga jual batubara milik BUMI masih kembali turun jadi US$ 40 per ton, itu karena harga patokan batubara di Newcastle Australia ketika itu memang lagi rendah-rendahnya. Sepanjang Januari– Juni 2016, harga batubara Newcastle tercatat hanya US$ 53 – 57 per ton, dibandingkan periode yang sama 2015 yang masih US$ 63 – 67 per ton.

Persoalannya, menurut pengamat pasar modal Teguh  Hidayat, sebagus apapun perkembangan kinerja Bumi dari sisi operasional, jika perusahaan masih belum bisa membereskan masalah utangnya yang segunung, laporan keuangannya bisa dipastikan bakal tetap berantakan. “Jadi yang penting untuk diperhatikan adalah terkait perkembangan restrukturisasi utang-utang perusahaan,” katanya.

Sekailipun proses restrukturiasi utang dan konversi utang diprediksikan sukses, menurut Teguh, tetap harus diingat bahwa kinerja perusahaan masih berantakan. Karena itu, tidak menjadi jaminan bahwa Bumi akan kembali profit ke depannya. Semua itu berpulang pada kerja keras manajemen untuk menghasilkan posisi ekuitas yang positif, alias tidak lagi defisiensi modal karena memperoleh tambahan modal dari rights issue plus berkurangnya nilai utang.

“Di luar itu,  Bumi mesti membukukan laba bersih dengan asumsi kenaikan harga batubara terus berlanjut, atau minimal tidak turun ke level US$ 50 per ton,” jelas Teguh.  (DR)