JAKARTA– Proses restrukturisasi utang PT Berau Coal Energy Tbk (BRAU) masih sulit dilakukan dan menemui banyak hambatan. Induk dari perusahaan tambang batubara yang beroperasi di Kabupaten Berau, Kalimantan Timur tersebut masih belum juga memperoleh kesepakatan dari para pemegang obligasi (bond holders) mengenai skema restrukturisasi utang obligasi.

Saat ini BRAU belum memberikan laporan keuangan yang terbaru, namun dalam laporan keuangan tahunan perseroan pada 2014 disebutkan, jumlah aset yang dimiliki sebanyak US$1.773 juta, dan total liabilitas lancar sebanyak US$ 1.288 juta, ditambah liabilitas jangka panjang US$ 527 juta, dengan total utang sebesar US$ 1.815 juta.

Berau Coal mendapat tingkat kerugian bersih selama tahun berjalan 2014 sebesar US$ 85 juta dan modal kerja bersih US$ 421 juta. Dengan kondisi keuangan tersebut, restrukturisasi utang cukup sulit dilakukan karena besar utang tidak sebanding dengan aset yang dimiliki.

Manajemen BRAU dalam surat keterbukaan informasi yang diberikan kepada Bursa Efek Indonesia No 079/BCE/BOD-EDS/V/2016 menyebutkan bahwa jumlah surat utang setelah pembelian kembali notes oleh perseroan adalah sekitar US$ 799.87 juta. Ini terdiri atas sisa notes lama sekitar US$ 358,04 juta dengan bunga 12,5% yang jatuh tempo 2015 dan diterbitkan oleh Berau Capital Resources Pte Ltd. Juga ada sisa notes yang jatuh tempo pada 2017 sekitar US$ 441,82 juta dengan bunga 7,25% yang diterbitkan ole Berau Coal.

Brian Liu, Associate Vice President Argyle Street Management, mengatakan proses restrukturisasi ini panjang dan lebih sulit dari dugaan. Berau Coal Energy harus menilai kembali kemampuan operasional perusahaan tambang ini. “Proses ini terus berjalan dan kami membutuhkan waktu untuk mencari skema terbaik,” katanya.

Reza Priyambada, Senior Analis Bina Artha Securities, mengatakan untuk menyelesaikan utang yang berkepanjangan mau tidak mau manajemen Berau Coal Energy akan melakukan negosiasi dengan pemegang obligasi agar nanti dihasilkan win-win solution. Negosiasi bisa dilakukan dapat berupa perpanjangan tenor ataupun negosiasi penurunan bunga utang dengan para pemegang bond. Pilihan lainnya adalah melakukan refinancing.

“Masalahnya, apakah itu disetujui oleh pemegang obligasi. Belum lagi ganti uang kan tetap ada konsekuensinya, makin panjang tenornya makin tidak pasti,” katanya.

Di samping restrukturisasi utang yang masih berliku, sejak Mei 2015, Berau Coal Energy mengalami suspend perdagangan di semua pasar saham, selama hampir dua tahun. Suspend perdagangan saham tersebut antara lain disebabkan oleh keterlambatan penyampaian laporan keuangan berkala kepada Bursa. “Mungkin juga ada informasi yang belum disampaikan kepada BEI,” ujar Reza.(***)