JAKARTA – Pemberian relaksasi ekspor mineral mentah dinilai harus diperlakukan sebagai emergency exit dan bukan solusi jangka panjang. Pemerintah juga harus melihat bahwa kepentingan jangka panjang harus tetap menjadi pertimbangan.

“Relaksasi harus dimanfaatkan sebagai instrumen untuk menerapkan reward dan punishment secara efektif,” ujar Budi Santoso, Direktur Centre for Indonesian Resources Strategic Studies (CIRUSS) kepada Dunia Energi, Jumat (23/12).

Menurut Budi, pemerintah juga harus memberikan kebijakan yang menimbulkan efek kerugian bagi perusahaan yang tidak memiliki niat membangun pabrik pengolahan dan pemurnian (smelter) bagi yang memiliki kemampuan dan keharusan. Disisi lain juga mendorong dan membantu bagi perusahaan yang menunjukkan niatnya, tetapi mengalami kesulitan dan hambatan.

“Jangan sampai perusahaan yang sudah melangkah membangun smelter malah terancam karena kesulitan keuangan. Padahal sumberdaya dan cadangannya sangat cukup kalaupun diberi kesempatan ekspor,” ungkap dia.

Budi menambahkan pemerintah dalam pemberian relaksasi juga harus melihat kasus per kasus, terutama dikaitkan dengan komitmen dan kemajuannya dalam pembangunan smelter.

Seiring tenggat waktu 12 Januari 2017 daripada Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 1 Tahun 2014 terkait dengan larangan ekspor mineral, mencuat pro dan kontra mengenai rencana revisi atas kebijakan larangan ekspor mineral.

Erry Sofyan, Ketua Asosiasi Pengusaha Bauksit dan Bijih Besi Indonesia (APB3I), mengatakan seyogyanya pemerintah mengundang para ahli, profesor dari Universitas Indonesia dan Institut Teknologi Bandung (ITB), yang sebelumnya telah mengkaji kegagalan program hilirisasi serta bersedia membantu perencanaan hilirisasi yang lengkap dan matang agar tujuan hilirisasi dapat tercapai sesuai dengan amanat Undang-Undang Minerba No 4 Tahun 2009.

“APB3I yakin kebijakan ekspor mineral bauksit akan membawa dampak positif kepada perekonomian negara dan daerah,” kata dia.

Menurut Erry, dana yang dihasilkan dari bea keluar dalam lima tahun ke depan dapat digunakan untuk mewujudkan industri aluminium yang menggerus devisa Indonesia sebesar US$3,6 miliar per tahun tanpa harus mengorbankan mineral nasional dikuasai asing.

“Dengan dibukanya ekspor bauksit akan menghasilkan devisa lebih dari Rp 18 triliun per tahun dan negara mendapatkan penghasilan pajak dan bea keluar sebesar Rp 6,7 triliun. Kebijakan ini juga sangat bermanfaat menjaga kedaulatan bangsa dan negara,” tandasnya.(RA)