JAKARTA – Rencana Kejaksaan Agung (Kejagung) menjadikan dua karyawan PT Chevron Pacific Indonesia, Alexia Tirtawidjaja dan Bachtiar Abdul Fatah sebagai terdakwa di persidangan kasus bioremediasi, dinilai sebagai langkah yang melanggar aturan hukum.

Seperti diketahui, pada Jumat, 10 Mei 2013, Jaksa Agung, Basrief Arief dan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Andhi Nirwanto mengungkapkan, akan membawa berkas tersangka General Manager (GM) Chevron, Alexia Tirtawidjaja dan General Manager SLS (Sumatera Light South) Chevron, Bachtiar Abdul Fatah ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta.

Jaksa Agung menyatakan, tersangka Bachtiar segera disidang, dan akan menjalani pelimpahan berkas ke tahap dua atau prapenuntutan pekan depan. Rencana ini muncul, setelah adanya vonis Majelis Hakim Pengadilan Tipikor terhadap dua kontraktor Chevron dalam proyek bioremediasi. Dengan vonis itu, Jaksa Agung terkesan semakin percaya diri, pihaknya mampu melakukan pembuktian di persidangan.    

Pernyataan pihak Kejagung ini kontan ditanggapi pedas oleh Kuasa Hukum Bachtiar Abdul Fatah, Maqdir Ismail. Maqdir menilai, langkah Kejagung ini bertentangan dengan hukum, sehingga layak dipertanyakan maksud dan alasan sesungguhnya.

Karena sesuai Putusan Perkara Praperadilan No. 38/Pid.Prap/2012/PN.Jkt-Sel, tanggal 27 Nopember 2012, status tersangka Bachtiar sudah digugurkan. Putusan Majelis Hakim praperadilan itu menyatakan, penetapan Bachtiar sebagai tersangka oleh Kajagung adalah tidak sah dan tidak berdasarkan atas hukum, sehingga tidak bisa dilakukan penyerahan tersangka dan barang bukti.

“Oleh karena itu, sesuai putusan praperadilan itu maka sudah tidak ada kasus dan tidak ada perkara atas nama klien kami (Bachtiar Abdul Fatah, red). Putusan Praperadilan menyatakan bahwa penetapan tersangka adalah tidak sah dan tidak berdasarkan atas hukum dan putusan tersebut telah berkekuatan hukum tetap,” tandas Maqdir di Jakarta, Minggu, 12 Mei 2013.

Lebih lanjut diterangkannnya. Putusan praperadilan ini tidak bisa diabaikan, tetapi harus dihormati dan dijunjung tinggi termasuk oleh Kejaksaan Agung. Sebagai eksekutor putusan pengadilan, sepatutnya penyidik Kejaksaan Agung menghentikan perkara Bachtiar Abdul Fatah. Bukannya malah mencoba menelikung serta terus mencari-cari alasan yang tidak berdasarkan hukum untuk menuntut Bachtiar.

Disamping itu, lanjutnya, vonis majelis hakim pengadilan tipikor atas dua terdakwa kontraktor Chevron, belum berkekuatan hukum tetap karena masih ada proses banding. Vonis itu juga tidak bulat, karena ada hakim anggota yang mengajukan dissenting opinion (pendapat berbeda, red) yang justru menilai bahwa dakwaan primer dan subsider kepada kedua kontraktor tersebut tak terbukti.

Alexia Belum Pernah Dipanggil

Terkait dengan rencana menyeret Alexia Tirtawidjaja ke persidangan bioremediasi, Maqdir pun mengatakan rencana Kejagung itu melanggar hukum. Karena secara factual, kepada Alexia Tirtawidjaja belum pernah dilakukan panggilan secara patut dan sah menurut hukum, oleh Kejagung.

“Tanpa hadirnya terdakwa, akan berakibat terdakwa kehilangan seluruh haknya di depan hukum, karena tidak dapat melakukan pembelaan diri secara patut dan sesuai hukum. Peradilan yang akan dilakukan secara in absentia dengan kondisi seperti pada perkara Alexia, akan mencederai hak asasi manusia,” pungkasnya.

Senada diungkapkan Corporate Communication Manager Chevron, Dony Indrawan. Ia menyayangkan langkah Kejagung tersebut, karena bertentangan dengan prinsip dasar hukum yaitu melindungi hak-hak hukum warga negara. Apalagi rencana Kejagung itu hanya didasarkan pada vonis majelis hakim atas dua kontraktor Chevron, dalam persidangan yang sangat tidak obyektif.

“Putusan majelis hakim yang memutus bersalah kedua terdakwa kontraktor Chevron itu, telah mengabaikan semua fakta-fakta persidangan, dan hanya mengandalkan keterangan jaksa dan Edison Effendi. Hakim telah mengabaikan fakta adanya konflik kepentingan Edison, sebagai wakil dari perusahaan yang kalah tender proyek bioremediasi Chevron pada 2007 dan 2011,” kata Dony.

Puji Hakim Sofialdi

Dony menilai bahwa justru hakim Sofialdi yang telah menjalankan perannya sebagai penegak hukum yang profesional, adil dan obyektif. “Beliau berani mengungkapkan kebenaran tentang fakta-fakta yang hadir di persidangan,” tukasnya di Jakarta, Minggu, 12 Mei 2013.  

Dalam sidang putusan Herlan (Sumigita) dan Ricksy (GPI), hakim Sofialdi berpendapat pekerjaan bioremediasi telah dilakukan PT Sumigita Jaya dan GPI. Pekerjaan itu telah selesai diserahkan kepada Chevron. Dan sebagai kontraktor pekerjaan teknis, berdasarkan peraturan pemerintah, kedua kontraktor Chevron itu juga tidak harus mengurus izin sendiri, karena kewajiban mengurus izin ada pada Chevron sebagai pemilik limbah.

Sofialdi juga mengungkapkan bahwa pengambilan sampel yang dilakukan ahli Edison Effendi dan uji sampel yang hanya dilakukan di laboratorium dadakan di Kejagung, bertentangan dengan peraturan menteri tentang laboratorium lingkungan hidup yang tak bersertifikat.

Sehingga menurut hakim Sofialdi, sampel dan hasil uji yang disodorkan sebagai bukti oleh Kejagung di persidangan bioremediasi, tidak bisa digunakan sebagai bukti yang sah di persidangan, apalagi digunakan untuk menyatakan kesalahan sebuah perkara.

Dony pun menegaskan, Chevron akan terus berusaha keras membela para karyawannya, yang telah menjalankan pekerjaan mereka sesuai hukum di Indonesia. Chevron juga tetap yakin, tidak ada bukti sah yang disampaikan jaksa selama persidangan soal kerugian negara dan tindakan melanggar hukum yang dilakukan dalam proyek bioremediasi.

“Chevron meminta kepastian dan jaminan pemerintah Indonesia tentang kepastian hukum pelaksanaan mekanisme PSC (Productian Sharing Contract) migas dalam penyelesaian sengketa proyek-proyek yang telah jelas diatur didalamnya, yang mengikat secara hukum bagi Pemerintah Indonesia,” pungkasnya.

(Abraham Lagaligo /abrahamlagaligo@gmail.com)