JAKARTA – Pemerintah diminta untuk melakukan pembaharuan strategi dalam upaya pencapaian peningkatan kapasitas produksi minyak dan gas (migas). Sejak penurunan produksi migas beberapa tahun lalu, perencanaan dan kebijakan terkait industri migas yang ada hanya untuk meningkatkan kembali produksi jangka pendek.

Pri Agung Rakhmanto, pengamat energi dari Universitas Trisakti, menyatakan pemerintah sebaiknya menyiapkan langkah atau kebijakan yang tidak hanya fokus pada pencapaian produksi siap jual (lifting), karena itu jangka pendek dan hanya masalah teknis dan operasional.

Pemerintah bisa menetapkan perencanaan atau target hulu migas makro jangka menengah panjang yang lebih progresif dan akan bisa lebih bermanfaat di masa mendatang.

“Misalnya bagaimana mencapai produksi 900 ribu barel per hari (bph) dalam lima tahun ke depan dan satu juta bph dalam 10 tahun ke depan dengan level cadangan yang meningkat. Katakanlah 50 persen dari level saat ini. Maka kemudian akan dapat kita petakan dengan jelas kebijakan dan langkah apa yang perlu diambil dan sebaiknya tidak dilakukan,” kata Pri Agung kepada Dunia Energi, Selasa (3/1).

Dia mengatakan upaya yang dilakukan pemerintah melalui Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas (SKK Migas) secara teknis sejauh ini telah menjalankan fungsinya.

“Secara teknis SKK Migas berkontribusi dalam hal bagaimana merencanakan target itu lebih cermat dengan mengkalkulasi faktor-faktor yang krusial dan mengawal rencana itu di dalam operasionalisasinya oleh KKKS dapat berjalan dengan baik,” ungkap Pri Agung.

Pada 2016 produksi migas Indonesia tercatat melampaui target yang direncanakan. Data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyebutkan realisasi produksi migas diperkirakan mencapai 114% dari target 2016.

Sepanjang 2016, rata-rata produksi minyak bumi sebesar 831 ribu BOPD (barrels of oil per day) dan produksi gas bumi mencapai 1.418 MBOEPD (thousand barrels of oil equivalents per day). Total target produksi migas pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBNP) 2016 sebesar 1.970 MBOEPD.

Untuk lifting migas sendiri mencapai 2.000 MBOEPD atau lebih tinggi dari target 2016 yang sebesar 1.970 MBOEPD. Dengan perincian lifting minyak bumi sebesar 820,3 ribu BOPD dan gas bumi 1.181,5 MBOEPD atau 102% dari target. Dalam APBNP 2016 ditargetkan 820 ribu BOPD untuk minyak dan 1.150 MBOEPD untuk gas.

Menurut Pri Agung, pencapaian produksi dan lifting migas pada 2016 mencerminkan perencanaan dan eksekusi yang cukup baik dari pemerintah. Meskipun pada sisi lain ada juga kemungkinan bahwa target yang ditetapkan terlalu konservatif atau rendah.

“Tetapi lepas dari itu pencapaian ini harus diapresiasi karena hal ini tetap saja menggambarkan adanya perbaikan yang dilakukan pemerintah baik dari sisi perencanaan maupun di dalam bagaimana merealisasikan perencanaan itu,” ungkap dia.

Pri Agung mengatakan untuk bisa menjaga performa dari para kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) dalam produksi migas, pemerintah diminta melakukan evaluasi terhadap berbagai kebijakan, terutama di sektor hulu. Karena dalam beberapa tahun terakhir kebijakan yang ada belum berefek positif bagi iklim investasi.

Menurut dia, salah satu kebijakan yang krusial bisa dilihat dalam pengaturan yang belum bisa menerapkan kembali prinsip assume and discharge melalui revisi Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2010, revisi Undang-Undang Migas, kewajiban kontraktor untuk menalangi hak partisipasi 10 persen untuk daerah dan kewajiban dana ASR hingga rencana perubahan skema kontrak migas.

“Itu semua kan sebenarnya kontradiktif dengan keinginan untuk mendorong peningkatan cadangan dan produksi,” tandas Pri Agung.(RI)