JAKARTA – Relaksasi ekspor mineral mentah (ore) dianggap akan menghancurkan realisasi investasi di sektor hilir, yang telah masuk. Tamba Parulian Hutapea, Deputi Bidang Perencanaan Penanaman Modal Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mengungkapkan saat ini tercatat ada 22 proyek pengolahan dan pemurnian (smelter) mineral dengan total nilai investasi sebesar US$ 2,5 miliar.

“Sebesar US$ 1,4 miliar sudah tahap produksi. Nilai investasi tersebut karena adanya optimisme dari investor mengenai konsistensi kebijakan pelarangan ekspor mineral mentah,” ujar Tamba di Jakarta, Rabu (19/10).

Tambang Antam

Menurut dia, kebijakan larangan ekspor mineral mentah juga mengakibatkan industri smelter di luar negeri, seperti di China hampir menutup usahanya karena tidak adanya bahan baku. Jika pemerintah menjalankan relaksasi, justru akan menghidupkan kembali industri smelter di negara itu.

Selain itu, menurut Tamba, kebijakan relaksasi akan menyulitkan pemerintah untuk membangun kredibilitas. Dan,  Indonesia akan dikenal sebagai negara dengan kebijakan yang sering berubah-ubah.

“Relaksasi ekspor akan memicu kompleksitas permasalahan. Relaksasi ekspor melanggar UU Minerba pasal 95 ayat c, yang mewajibkan pemegang IUP dan IUPK untuk meningkatkann nilai tambah mineral dan/batu bara,” ungkap dia.

Tamba menjelaskan, dalam hal ini pemerintah harus konsisten terhadap kebijakan hilirisasi mineral. Oleh karena itu, kebijakan yang diterbitkan harus tetap melindungi rencana dan realisasi investasi di sektor hilir yang telah dilakukan. Kebijakan tidak boleh bersifat back track, pelarangan ekspor mineral mentah harus tetap dilakukan dan relaksasi ekspor hanya diberikan untuk produk konsentrat.

“Perlu adanya identifikasi kebutuhan smelter yang akan dikembangkan dengan neraca mineral Indonesia, sehingga dalam jangka panjang bisa dimanfaatkan sebesar-besarnya. Untuk mendukung industri smelter, perlu diidentifikasi kebijakan-kebijakan lain yang perlu dikembangkan,” tandas Tamba.(RI)