JAKARTA – Kontrak pertambangan PT Freeport Indonesia, anak usaha Freeport McMoRan Inc, perusahaan tambang asal Amerika Serikat di tambang emas dan tembaga Grasberg yang akan berakhir pada 2021 dinilai harus menjadi pertimbangan pemerintah untuk memberikan kelonggaran (relaksasi) ekspor mineral.

“Jangan lima tahun, idealnya hanya tiga tahun sampai  2019. Jadi menjelang batas akhir kontrak Freeport, untuk kemudian dibicarakan dengan pemerintah apakah lanjut atau tidak. Sambil menunggu revisi UU 4/2009 yang sedang berproses,” kata Ladjiman Damanik, Direktur Ekskutif AsosiasiPengusaha Mineral Indonesia (Apemindo), kepada Dunia Energi.

Menurut Ladjiman, jika pemerintah memberikan waktu hingga lima tahun, berarti sudah 13 tahun sejak 2009 pemerintah menginstruksikan para pelaku usaha pertambangan melakukan kewajiban hilirisasi dengan membangun fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter) mineral. Namun, pelaksanaannya belum berhasil karena pembinaan dan pengawasan dari pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tidak ketat.

Kementerian ESDM sebelumnya menyatakan akan memberikan relaksasi ekspor mineral mentah 3-5 tahun kepada perusahaan tambang yang berkomitmen membangun smelter . Sementara untuk perusahaan tambang yang tidak bisa membangun smelter, diberikan peluang untuk bekerja sama dengan perusahaan besar yang sudah membangun smelter.

“Lima tahun itu maksimum, kalau setelah lima tahun tidak membangun maka akan kita stop, cabut izin tambangnya. Lima tahun sejak peraturan dikeluarkan,” tegas Luhut Binsar Pandjaitan, Pelaksana Tugas Menteri ESDM.

Soehendro Gautama, Sekretaris Jenderal Asosiasi Pengusaha Bijih Besi dan Bauksit Indonesia(APB3I), mengatakan penafsiran pemerintah mengenai kebijakan pelarangan maupun membolehkan ekspor mineral mentah tidak sesuai pasal 102 dan 103 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (UU Minerba).

Pemerintah diminta tidak sewenang-wenang dengan memukul rata semua pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) tanpa melihat skala pengusahaan penambangan yang dimiliki.
“Jangan sampai kebijakan pengelolaan sumber daya alam seolah-olah untuk kepentingan nasional, tapi di baliknya membonceng agenda untuk memperkuat cengkeraman untuk memperkuat kuku asing dalam pengolahan dan pemurnianhasil penambangan mineral,” tandas Soehendro.(RA)