JAKARTA – Seiring perkembangan teknologi konversi energi surya menjadi energi listrik dan penurunan  biaya peralatan yang diperlukan, pemeritah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menggandeng Real Estate Indonesia (REI) untuk mengembangkan  pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) dengan menggunakan modul surya fotovoltaik yang dipasang di atap bangunan (rooftop) perumahan.
“Ini kan sudah jadi semangat, seharusnya pemerintah mendukung. Regulasi harus jelas, dan tidak memberatkan pengembang,” kata Surya Dharma, Ketua Umum Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI), kepada Dunia Energi di Jakarta,  Kamis(14/9).
Pengembangan PLTS di perumahan didukung potensi energi surya di tanah air yang sangat baik, rata-rata 4,80 kWh/m2/hari.
Melalui Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 17 Tahun 2013 tentang Pembelian Tenaga Listrik oleh PT PLN dari Pembangkit Listrik Tenaga Surya Fotovoltaik, pemerintah telah memberikan kesempatan bagi pengusahaan energi surya sebagai pembangkit listrik melalui mekanisme kuota kapasitas dan penetapan harga patokan tertinggi sebesar US$25 sen perkilowatt hours (kWh).
Surya menekankan bahwa pemerintah perlu mendorong pemanfaatan energi terbarukan sebagai sumber energi di bangunan-bangunan perkantoran yang hampir seluruhnya menggunakan listrik dari jaringan PT PLN (Persero) sehingga dapat menekan penggunaan bahan bakar minyak dan penurunan emisi CO2.
Pemanfaatan energi terbarukan yang cocok untuk perkantoran adalah PLTS dengan menggunakan modul surya fotovoltaik yang dipasang di atap bangunan.
PLTS rooftop merupakan solusi yang handal bagi penyediaan energi di gedung-gedung perkantoran karena mayoritas gedung perkantoran menggunakan listrik pada siang hari atau jam kerja. Hal ini didukung biaya pengadaan listrik yang lebih murah dari diesel ataupun bahan bakar minyak (BBM).
Selain itu, perawatan dan pengoperasiannya juga mudah namun dampaknya signifikan untuk mengurangi polusi dan efek rumah kaca.
Disamping itu, bentuk PLTS rooftop tersebut memiliki keunggulan tersendiri apabila dibandingkan dengan PLTS skala besar, diantaranya lebih mudah dan murah untuk diintegrasikan dengan sistem kelistrikan yang sudah ada, dapat memanfaatkan lahan yang ada (mengurangi biaya investasi lahan), serta dapat turut mengurangi beban jaringan sistem yang ada.
Saat ini PLN telah mengakomodasi pemanfaatan PLTS oleh pelanggan secara terintegrasi jaringan melalui sistem net-metering dimana produksi listrik oleh pelanggan akan mengimbangi energi listrik dari sistem PLN.
Untuk menentukan berapa kapasitas PLTS yang diperlukan maka perlu diperhatikan berapa produksi energi yang diinginkan. Sebagai contoh, misal jika PLTS rooftop ini diimplementasikan dengan profil beban konsumsi energi harian adalah sebesar 3,2 megawatt hour (MWh), apabila digunakan asumsi 7 % dari energi listrik yang diperlukan dan load factor 0,6 maka diperoleh kapasitas sistem sebesar 133 kWp. Dengan luasan per kWp 7 m2, maka luasan yang diperlukan untuk sistem 132,96 kWp adalah sekitar 931 m2. Dengan harga PLTS Rp 28 juta per kWp (rata-rata rooftop residential), maka diperlukan biaya sekitar Rp 3,76 miliar.
Dengan asumsi pengurangan emisi CO2 sebesar 0,891 kg/kWh maka dalam satu tahun akan diperoleh penurunan emisi 172 ton CO2.
“Yang penting tidak memberatkan,” tandas Surya.(RA)