JAKARTA – Upaya pemerintah untuk menyiapkan Rancangan Peraturan Menteri (Rapermen) listrik surya atap dinilai perlu mendapat apresiasi. Namun, pemerintah seharusnya juga lebih menghargai inisiatif yang tumbuh di masyarakat untuk menggunakan listrik surya atap, sebagai sumber energi yang bersih, mandiri dan tanpa dukungan pendanaan dari pemerintah.

“Sejumlah aturan dalam Rapermen Listrik Surya Atap tampaknya belum mencerminkan semangat untuk percepatan (akselerasi) pencapaian target bauran energi terbarukan sebesar 45 gigawatt (GW) pada 2025. Sebesar 6,5 GW diantaranya berasal dari kapasitas listrik surya atap, seperti yang diamanatkan dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN),” kata Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Insitute for Essential Services Reform (IESR), di Jakarta Jumat (10/8)

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) akan segera mengeluarkan Peraturan Menteri (Permen) mengenai Panel Surya Atap (solar rooftop).

Menurut Rida Mulyana, Direktur Jenderal Energi Baru dan Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian ESDM, Rapermen akan segera ditandatangani Menteri ESDM Ignatius Jonan. Rapermen memuat sejumlah aturan penting, diantaranya golongan pelanggan PT PLN (Persero) yang diperbolehkan menggunakan panel surya atap adalah golongan rumah tangga, lembaga pemerintah dan lembaga sosial, sedangkan golongan industri tidak diperbolehkan.

Kedua, kapasitas yang dihasilkan dari panel surya atap tidak lebih dari 90% daya listrik yang mengalir dari PLN. Dan ketiga, perhitungan jumlah transaksi listrik yang dijual ke pembangkit PLN mengacu kepada Tarif Dasar Listrik dan Biaya Pokok Penyediaan (BPP) Nasional.

Kementerian ESDM sejak September 2017 bersama dengan IESR, AESI, PPLSA, Kementerian Perindustrian dan sejumlah pihak lainnya telah menginisiasi sebuah gerakan bernama Gerakan Nasional Sejuta Surya Atap (GNSSA) yang tujuannya adalah mendorong pemanfaatan teknologi surya atap sehingga dapat mencapai kapasitas terpasang 1 Gigawatt (GW) pertama pada 2020.

Menurut Fabby, setidaknya ada empat aturan dalam Rapermen yang perlu disegera diperbaiki.

Pertama, kapasitas yang dihasilkan dari listrik surya. Aturan tersebut seharusnya tidak perlu membatasi kapasitas produksi, namun batasannya bisa dilakukan pada inverter yang digunakan dalam melakukan transfer daya dengan PLN. Dengan inverter pelanggan PLN bisa memproduksi listrik surya yang lebih besar dan menentukan apakah akan dijual ke PLN atau digunakan sendiri.

Kedua, jumlah nilai transaksi listrik. Aturan yang selama ini digunakan mengacu pada Peraturan Direksi PT PLN No.0733.K/DIR/2013 menggunakan net-metering dengan tarif 1:1.

Dengan aturan ini pelanggan mendapatkan harga yang adil karena tarif yang dijual ke jaringan PLN sama dengan tarif yang dibeli dari jaringan PLN. Namun dalam Rapermen justru menggunakan formula Tarif Dasar Listrik dan Biaya Pokok Produksi (BPP) Nasional yang menyebabkan tarif listrik surya atap menjadi lebih rendah.

Dengan tarif yang rendah akan menyebabkan harga keekonomian listrik surya menjadi tidak menarik. Selisih nilai harga yang diterima pelanggan menjadi lebih rendah, sehingga masa pengembalian (payback) dari investasi menjadi lebih panjang.

“Aturan tersebut harusnya meningkatkan harga keekonomian listrik surya atap, sehingga minat masyarakat untuk berinvestasi di sumber energi yang bersih semakin tinggi,” kata Fabby.

Ketiga, izin persetujuan dari PLN untuk pemasangan. Rapermen seharusnya memberi kemudahan bagi para pelanggan PLN untuk memasang perangkat listrik surya atap, tanpa perlu menghadangnya dengan berbagai bentuk perizinan lainnya. Pelanggan listrik cukup diminta untuk melaporkan kepada PLN, tapi bukan untuk meminta persetujuan, serta ada ketentuan yang jelas berapa lama pelanggan akan mendapatkan kWh meter EXIM.

Keempat, Sertifikat Laik Operasi (SLO) Listrik Surya Atap yang disamakan dengan pembangkit listrik yang lebih besar. Listrik surya atap adalah jenis pembangkit listrik yang tidak bergerak, tidak menimbulkan bunyi, tidak mengeluarkan emisi dan tegangannya rendah. Oleh karena itu, sangat tidak layak jika menyamakan instalasi listrik surya atap dengan jenis pembangkit listrik yang besar. Untuk mengaturnya, pemerintah seharusnya bisa menggunakan ketentuan kelaikan yang digunakan dalam Permen ESDM No. 27/2017 pada pasal 20 sebagai instalasi tenaga listrik dengan tegangan rendah.

Menanggapi adanya kekhwatiran bahwa keberadaan listrik surya atap dapat mengancam bisnis PLN, Fabby mengatakan, PLN seharusnya tidak perlu merasa terancam. Sebab jika target 1.000 MW atau 1 GW dari pembangkit listrik surya atap terpenuhi itu hanya menggantikan 0,5% dari total produksi listrik PLN selama 1 tahun.

“Ketimbang merasa terancam, PLN sebaiknya segara melakukan adaptasi dan mulai serius untuk menekuni bisnis di sektor energi terbarukan,” kata Fabby.

Dia menambahkan, jika PLN ikut mengembangkan listrik tenaga surya, akan mendorong terjadinya kompetisi yang sehat untuk harga energi, dengan begitu harga listrik dari energi surya bisa semakin turun dan terjangkau. Di sejumlah negara karena pasar energi terbarukan khususnya energi surya semakin terbuka luas dan menyebabkan harga listrik energi surya semain kompetitf terhadap harga energi listrik dari batu bara.

Laporan IRENA (2017) menyebutkan  potensi energi surya Indonesia mencapai 3,1 GW per tahun, dimana 1 GW untuk listrik surya atap dan 2,1 GW untuk PLTS yang dibangun di atas tanah. Dibandingkan dengan negara-negara lain di kawasan Asia Tenggara, penggunaan listrik surya di Indonesia masih sangat rendah, di bawah 100 MW. Angka ini jauh tertinggal dari negara-negara lain di kawasan Asia Tenggara seperti Thailand, Malaysia dan Filipina yang sudah mencapai 2700 M, 875 MW, bahkan negara kecil seperti Singapura kini sudah mencapai 130 MW.

Ketertinggalan dalam penyediaan listrik surya seharunya menjadi perhatian besar bagi pemerintah. Karena saat ini terdapat gerakan oleh perusahaan-perusahaan multinasional, termasuk yang memiliki investasi di Indonesia untuk berkomitmen menggunakan listrik dari sumber energi terbarukan hingga mencapai 100% yang dinamakan RE100.

Fabby mengingatkan, perusahaan-perusahaan tersebut tidak hanya melakukan easy-doing business, tapi juga berperan aktif untuk melakukan ekonomi hijau.

“Jika dalam lima tahun ke depan Indonesia tidak mampu menyediakan sumber energi yang bersih, bisa jadi hal ini akan mengancam keberlangsungan bisnis dan ekonomi Indonesia di masa depan,” kata Fabby.(RA)