JAKARTA – Penerapan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang minyak dan gas sebagai fondasi pengelolaan industri migas dinilai sudah tidak sesuai dengan saat ini. Akibatnya, pembangunan infrastruktur tidak berjalan maksimal.

“Pemerintah bagaimana mau membangun infrastruktur dengan masif, jika UU-nya tidak mendukung. Kami lihatnya pembangunan itu jika ada penugasan,” kata Susyanto,Sekretaris Ditjen Migas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.

Menurut Susyanto dengan adanya kondisi tersebut membuat harga gas yang dalam beberapa tahun menjadi masalah karena dinilai terlalu tinggi bagi kalangan industri bergerak fluktuatif dan tanpa pengawasan berarti dari pemerintah.

“Harga gas berfluktuatif itu rugikan industri karena tidak bisa bersaing. Untuk mencegah perbedaan harga tentu harus ada infrastruktur,” tukasnya.

Dengan keberadaan infrastruktur , pemerintah meyakini proses tata kelola gas menjadi lebih teratur melalui mekanisme  blending harga yang akan ditetapkan juga oleh badan penyangga.

“Nanti ada namanya badan penyangga gas agregator kayak di Brazil,” kata Susyanto.

Inas Nasrullah Zubir, Anggota Komisi VII DPR dari Fraksi Hanura, menyatakan dalam UU Migas yang saat ini berlaku, pembahasan sektor hilir hanya sekitar 5% bahkan kurang. Padahal hilir memiliki kompleksitas masalah yang cukup besar dan harus segera dibenahi.

DPR sendiri saat ini masih terus melakukan konsolidasi antar fraksi terkait pembahasan RUU Migas. Harapan untuk merampungkan RUU Migas pada tahun ini sulit dicapai karena masih banyak berbagai permasalahan yang perlu kesepakatan melalui pembahasan panjang.

“Tidak akan selesai akhir tahun ini. Awal tahun depan yang selesai draf Komisi VII, habis itu didorong ke Baleg. Jadi masih panjang,” tandas Inas.(RI)