JAKARTA – Pelaku usaha yang tergabung dalam Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) pesimistis target bauran energi dari energi baru terbarukan (EBT) minimal 23% pada 2025 bisa tercapai.

“Kalau dengan kondisi regulasi seperti saat ini, sudahlah, target pasti akan meleset,” kata Yaser Palito, Wakil Ketua Umum BPP Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi), di Jakarta belum lama ini.

Dia mengatakan, kondisi investasi EBT di Indonesia tidak bisa disamakan dengan di Uni Emirat Arab yang menjual dengan harga murah hanya US$2 sen per KWh. Selain tanah gratis, cost fund di Uni Emirat Arab sangat rendah dan ada insentif yang diberikan pemerintah.

“Kondisi geografis-nya juga sangat ringan, sebab di padang gurun. Nah Indonesia, geografisnya tahu sendiri,” kata Yaser.

Menurut Yaser, pada tahun ini merupakan tahun industri listrik terlilit aturan sendiri. Salah contoh, terdapat tiga aturan kontroversial yang kemudian memunculkan perlawanan sengit produsen listrik swasta (independent power producer/IPP) yakni Permen ESDM Nomor 49 Tahun 2017, yang merupakan penyempurnaan atas Permen ESDM 10/2017 tentang Pokok-Pokok Dalam Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik. Serta Permen ESDM Nomor 45 Tahun 2017, revisi atas Permen ESDM 11/20117 tentang Pemanfaatan Gas Bumi untuk Pembangkit Tenaga Listrik. Dan terakhir, Permen ESDM Nomor 50 Tahun 2017 yang merupakan hasil revisi kedua Permen ESDM 12/2017 tentang Pemanfaatan Sumber Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik.

“Selain itu, juga ada surat Kementerian ESDM yang meminta PLN meninjau ulang kontrak PPA PLTU swasta yang ada di Jawa. Hal ini tertuang dalam surat yang dikirim ke Direktur Utama PLN tertanggal 3 November 2017,” tandas Yaser.(RA)