JAKARTA – Perubahan regulasi, termasuk revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 79 tentang Cost Recovery dan Pajak Hulu Migas diharapkan bisa segera memberikan dampak terhadap aktivitas eksplorasi.
Pri Agung Rakhmanto, pengamat energi dari Reforminer Institute, mengatakan ketentuan perpajakan menjadi salah satu poin utama yang dikeluhkan kontraktor kontrak kerja sama (KKKS).

Dalam revisi terdapat tambahan ketentuan mengenai pemberian insentif perpajakan yang tidak diatur di dalam PP No.79/2010. Insentif perpajakan tersebut merupakan bagian dari insentif kegiatan usaha hulu migas yang diberikan untuk mendukung keekonomian pengembangan suatu wilayah kerja.

“Insentif investasi yang diatur dalam regulasi sebelumnya hanya terbatas pada pemberian investment credit,” kata Pri Agung kepada Dunia Energi.

Pemberlakuan PP 79 Tahun 2010 disinyalir merupakan salah satu biang kerok lesunya aktivitas eksplorasi migas nasional. Pasalnya dalam beleid tersebut ada beberapa regulasi yang dinilai sebagai disinsentif dalam kegiatan hulu migas. Misalnya saat masa eksplorasi KKKS sudah dibebankan dengan berbagai pajak. Padahal belum ada cadangan yang terbukti.

Pada awal tahun ini Kementerian Keuangan akhirnya menyetujui draft revisi PP 79. Dengan persetujuan ini maka hanya tinggal menunggu persetujuan presiden sebelum diundangkan.

Ignasius Jonan, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), mengatakan percepatan revisi PP 79 diyakini bisa memberikan dampak positif terhadap iklim investasi industri migas. “Dengan revisi PP 79 kita mendorong untuk bisa berjalan terus kegiatan eksplorasi migas,” kata Jonan.

Lebih lanjut Jonan mengakui dibutuhkan waktu yang sangat lama untuk membahas PP 79. Ini disebabkan pembahasan tidak dilakukan sendiri oleh Kementerian ESDM melainkan dengan Kementerian Keuangan yang merupakan bendahara negara. “Saya juga tidak tahu kenapa itu bisa lama sekali dibahas di Kemenkeu, tapi sekarang sudah selesai jadi semoga bisa ada pengaruhnya,” kata dia.(RI)