JAKARTA– Kebijakan pemerintah terkait baku mutu emisi gas buang kendaraan bermotor mengharuskan industri otomotif nasional untuk terus berbenah. Salah satunya adalah memproduksi kendaraan bermotor dengan mesin yang menghasilkan emisi yang makin rendah serta bahan bakar yang semakin bermutu.

“Indikatornya adalah tingginya oktan pada bahan bakar, rendahnya sulfur, rendahnya unsur pembentuk deposit, dan rendahnya emisi. Makin tinggi RON (kadar oktan bahan bakar), daya dan torsi makin tinggi. RON rendah mudah terjadi self ignited yang berpotensi menurunkan performa dan bahkan merusak mesin kendaraan,” ujar Tri Yuswidjajanto, ahli otomotif dan bahan bakar dari Fakultas Teknik Mesin dan Dirgantara Institut Teknologi Bandung saat berbicara pada diskusi “Menjawab Tantangan Memproduksi BBM Ramah Lingkungan” yang diselenggarakan Energy and Mining Editor Society (E2S) bekerja sama dengan Visi Dunia Energi di Jakarta, Kamis (16/11).

Menurut Tri, industri otomotif nasional harus menyikapi secara serius aturan yang diterbitkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada Maret 2017 terkait baku mutu emisi gas buang kendaraan bermotor tipe baru kategori M, kategori N, dan kategori O. Permen LHK Nomor P.20/MENLHK/Setjen/KUM.1/3/2017 itu menetapkan penggunaan bahan bakar minyak (BBM) tipe Euro4 mulai tahundepan secara bertahap hingga 2021. “Artinya, penggunaan oktan 88 sebenarnya sudah tidak dimungkinkan berdasarkan regulasi ini karena BBM oktan 88 tidak sesuai dengan Euro 4,” ujarnya.

Tri mengatakan, mesin kendaraan bermotor didesain menghasilkan emisi gas buang tertentu. Mesin memerlukan bahan bakar dengan spesifikasi tertentu untuk dapat menghasilkan emisi sesuai desainnya.

“Penggunaan bahan bakar yang tak sesuai dengan spesifikasi mesin menimbulkan gangguan terhadap kinerja meskin dan emisi gas buang meningkat,” ujar doktor dari Technische Universitat Clausthal, Jerman ini.

Menurut dia, kadar belerang (sulfur) bahan bakar harus rendah karena merusak catalytic converter yang berfungsi mengurai NOx menjadi N2 dan O2 serta emisi S0x yang menyebabkan hujan asam. Selain itu, olefin/aromatic atau benzene, senyawa pendongkrak angka oktan tetapi pembentuk deposits, bisa digantikan dengan non metallic octane booster. “Washed gun, indikator kadar aditif deterjen dalam bahan bakar membentuk deposits makin rendah karena pembentuk deposits makin berkurang,” ujarnya.

Di negara maju, lanjut Tri, bahan bakar sesuai spesifikasi mesin sehingga bahan bakar terbakar sempurna sehingga menghemat BBM, emisi rendah, polusi rendah masyarajat sehat. Teknologi mesin juga berkembang pesat sehingga emisi rendah karena ada catalytic converter dari electronic control unit. “Penggunaan BBM dengan kadar oktan (RON) juga tinggi karena tidak mengandung metal (pb, mn, fe) sehingga unsur pembentuk deposit semakin rendah,” ujarnya.

Dia menyebutkan, emisi gas buang kendaraan bermotor menyebabkan polusi udara, yang memiliki dampak jangka panjang terhadap kesehatan masyarakat. Emisi CO misalnya berdampak pada iritasi mata, pusing, batuk, mengantuk, bercak kulit, memicu asma, dan kanker paru. HC berpotensi mengurangi kadar oksigen dalam darah, dapat menimbulkan psuing, gangguan berpikir, penurunan reflek dan gangguan jantung.

“Sementara NOx menyebabkan iritasi mata, batuk, meningkatkan kasus asma, menimbulkan infeksi saluran nafas, memicu kanker paru dan gangguang jantung dan paru. Sedangkan PM mengakibatkan infeksi saluran pernapasan (ISPA), bronkitis/alveolis,” ujar dia.

Tulus Abadi, Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), mengakui masyarkat Indonesia kian gandrung dengan kendaraan bermotor pribadi sebagai moda transportasi karena belum optimalnya pelayanan angkutan umum menjadi pemicu. Mengutip data Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ), Tulus mengatakan, jumlah sepeda motor di Jabodetabek mencapai 30 juta unit dan di Jakarta 13 juta unit. Sementara itu jumlah roda empat di Jakarta tidak kurang dari 4,3 juta unit dan total sekitar 80 juta unit sepeda motor di seluruh Indonesia.

“Massifnya penggunaan kendaraan pribadi minimal berdampak pada keselamatan di jalan raya, khususnya oleh pengguna roda dua dan dampak terhadap kesehatan dan pencemaran lingkungan. Apalagi kendaraan pribadi sangat rakus terhadap konsumsi BBM,” ujar dia.

Masalah kian serius saat kualitas BBM untuk kendaraan bermotor masih rendah. Indikator bahan bakar yang masih rendah kualitasnya adalah pengunaan bahan bakar berkoktan rendah. Semakin tinggi kandungan RON suatu bahan bakar minyak, makin rendah emisi gas buangnya dan semakin rendah kadar RON-nya, makin buruk dampaknya terhadap lingkungan serta kesehatan manusia tentunya.

“Saat dunia sudah kampanye penggunaan bahan bakar standar Euro4, di Indonesia masih terkungkung dengan penggunaan bahan bakar RON 88 (premium) yang masih di bawah standar Euro2. Bandingkan dengan Malaysia yang sudah menggunakan RON98, setara Pertamax Turbo produk Pertamina,” ujarnya.

Menurut Tulus, industri otomotif semestinya menjadi garda depan dengan memproduksi kendaraan bermotor dengan rekayasa teknologi pada produk kendaraan. Mesin kendaraan harus kompatibel dengan bahan bakar yang ditentukan sesuai regulasi pemerintah dan jika dilanggar mesin kendaraan akan shutdown secara otomatis. “Produk bahan bakar dengan kadar oktan (RON) tinggi sudah tersedia, ramah lingkungan pula,” ujarnya. (DR/AT)