JAKARTA – Pemerintah menerbitkan regulasi terbaru yang menetapkan batas waktu pelaksanaan divestasi perusahaan pemegang Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) paling lambat harus tuntas pada 2019.

Pasal 60 Peraturan Menteri (Permen) Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 25 Tahun 2018 tentang pengusahaan pertambangan mineral dan batu bara tertulis pemegang IUPK operasi produksi hasil perubahan bentuk pengusahaan pertambangan dari kontrak karya (KK) yang telah berproduksi paling sedikit lima tahun pada saat diundangkannya Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2017 tentang perubahan keempat atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan mineral dan batu bara wajib melaksanakan ketentuan divestasi saham sebesar 51% (lima puluh satu persen) dalam jangka waktu paling lambat pada 2019 sesuai dengan IUPK operasi produksi.

Jika berdasarkan pada poin tersebut maka hanya tinggal PT Freeport Indonesia yang belum menyelesaikan tahapan divestasi.

Bambang Gatot Ariyono, Direktur Jenderal Minerba Kementerian ESDM, mengatakan proses pembahasan setiap divestasi diwajibkan selesai dan rampung sebelum akhir 2019. Perusahaan pemegang IUPK yang beralih dari KK hanya tinggal perusahaan anak usaha Freeport-McMoRan Inc asal Amerika Serikat itu saja yang belum menyelesaikan.

Pemerintah sebelumnya sempat menargetkan kesepakatan dengan Freeport bisa selesai pada tahun ini, namun dengan adanya regulasi tersebut maka paling lambat negosiasi harus selesai pada 2019.

“IUPK (divestasi 51%). Paling lambat (2019),” kata Bambang, Jumat (11/5).

Selain membatasi waktu pembahasan proses divestasi, dalam beleid terbaru juga ditetapkan ketentuan pembayaran denda sebagai sanksi yang harus dipenuhi pelaku usaha yang tidak memenuhi komitmen pembangunan smelter.

Pada pasal 55 ayat 6 dituliskan direktur jenderal dapat memberikan persetujuan keadaan kahar di luar kemampuan manusia yang berakibat langsung terhambatnya pencapaian paling sedikit 90% (sembilan puluh persen) dari rencana kemajuan fisik pembangunan fasilitas Pemurnian sebagaimana dimaksud pada ayat (5) berdasarkan laporan tertulis pemegang IUPK operasi produksi mineral logam, IUP operasi produksi mineral logam, IUP operasi produksi khusus untuk pengolahan dan/atau pemurnian, dan pihak lain sebagai dasar untuk melakukan evaluasi permohonan rekomendasi perpanjangan.

Pada ayat 7 dalam hal setiap enam bulan persentase kemajuan fisik pembangunan fasilitas pemurnian sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak mencapai 90% (sembilan puluh persen), direktur jenderal minerba atas nama Menteri ESDM menerbitkan rekomendasi kepada direktur jenderal yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perdagangan luar negeri untuk mencabut persetujuan ekspor yang telah diberikan.

Serta pada ayat 8 ditetapkan selain pencabutan rekomendasi persetujuan ekspor sebagaimana dimaksud pada ayat (7), pemegang IUPK operasi produksi mineral logam, IUP operasi produksi mineral logam, dan IUP operasi produksi khusus untuk pengolahan dan/atau pemurnian dapat dikenakan denda administratif sebesar 20% (dua puluh persen) dari nilai kumulatif penjualan mineral ke luar negeri.

Bambang mengatakan selain denda, pemerintah juga akan mencabut izin atau rekomendasi ekspornya. Besaran denda dihitung berdasarkan penjualan atau ekspor ore sejak diberikan rekomendasi.

“Berarti dicabut bayar denda finansial 20%. Kalikan sales saja, sales ore-nya,” ungkap Bambang.

Dia menjelaskan jika suatu perusahaan melakukan ekspansi dengan membangun lebih dari satu smelter maka evaluasi sebagai bahan pertimbangan rekomendasi ekspor dan sanksi dilakukan terhadap smelter yang dibangun paling baru.

Denda diberlakukan untuk memberikan efek jera kepada pemegang IUPK yang tidak mememuhi komitmen namun tetap mendapatkan hasil dari ekspor.

“Khusus nya smelter baru dong kalau smelter lama udah 100 persen tidak kena denda. Prinsipnya itu berarti kegagalan membangun itu di denda dia hanya mengambil ekspor orenya aja,” tandas Bambang.(RI)