JAKARTA – Program listrik 35.000 megawatt (MW) yang dijagokan pemerintah dalam mengentaskan kekurangan listrik secara faktual jauh dari yang telah ditargetkan. Program ambisius ini terkendala pada masalah teknis dan non teknis dalam prosesnya.

“PLN harusnya secara konsisten meningkatkan kecukupan pasokan listrik, pengenaan tarif listrik yang berorientasi kepada kemampuan masyarakat dan keseimbangan penggunaan batubara, gas, energi terbarukan serta konservasi energi,” ujar Rofi Munawar, Anggota Komisi VII DPR.

Menurut Rofi, komitmen pemerintah dalam mengeksplorasi sumber listrik berbasis energi baru terbarukan (EBT) belum maksimal. Ini terbukti dari angka yang masih sangat rendah dalam komposisi energi mix dibandingkan fosil dan batubara.

“Saya khawatir realisasi program 35ribu MW akan lebih buruk nasibnya dibandingkan program 10 ribu MW. Beragam peresmian yang dilakukan harus dibarengi dengan komitmen menyelesaikan proyek tersebut hingga akhir, agar tidak mangkrak,” ujarnya.

Pemerintah menurunkan target porsi bauran pembangkit listrik dari sumber energi baru terbarukan  dan menggantikannya dengan gas bumi dalam Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik PT PLN (Persero) Tahun 2016-2025. Meskipun porsi batubara berubah menjadi 50 % dari semula 55,5 %. Tapi porsi EBT turun menjadi 19,6 % dari semula 25 % dan untuk gas meningkat menjadi 29,4 % dari semula 24,3 %.

Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menargetkan tahun ini rasio elektrifikasi atau akses listrik secara nasional mencapai 90%. Padahal, rasio elektrifikasi Indonesia secara nasional pada tahun 2015 ditargetkan sekitar 87,4% dan realisasinya di angka 88,5%.

“Bukti bahwa pemerintah lebih mengejar pertumbuhan listrik secara instan, dibandingkan mendorong energi hijau yang lebih berkelanjutan,” tandas Rofi.(RA)