JAKARTA – Ketidakpastian kebijakan di sektor minyak dan gas dianggap menjadi salah satu faktor utama yang menyebabkan timbulnya ketimpangan antara peningkatan risiko yang dihadapi pelaku usaha dengan tingkat pengembalian modal yang menurun.

“Ada permasalahan ketimpangan risk versus reward di investasi energi. Investor pasti akan berinvestasi, jika tingkat risiko dan tingkat pengembalian sepadan,” kata Sammy Hamzah Wakil Ketua Umun Apindo Bidang Energi dan Migas di Jakarta, Kamis (3/11).

raw-94

Menurut Sammy, beberapa faktor yang menyebabkan ketimpangan tersebut antara lain ketidakpastian kebijakan dalam hal perhitungan pajak. Padahal proses birokrasi dan pembengkakan biaya juga terus terjadi.

Belum lagi dengan sifat alami kondisi alam Indonesia, cadangan migas tersisa kini berada di wilayah laut dalam dan tingkat keberhasilan makin menipis. “Hal ini berimbas pada investasi eksplorasi yang turun drastis dan mengancam ketersediaan migas,” kata dia.

Pemerintah sudah berupaya untuk bisa memulihkan iklim investasi di sektor hulu migas. Perubahan atau revisi Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2010 yang mengatur tentang biaya operasi yang bisa dikembalikan (cost recovery) dan pajak hulu migas sudah tinggal menunggu waktu untuk diterbitkan.

Dalam aturan tersebut industri diberikan insentif berupa pembebasan pajak pada masa eksplorasi dan eksploitasi, yakni PPN impor, bea masuk,  PPN dalam negeri serta PBB akan menjadi tanggungan pemerintah. Fasilitas lainnya adalah pembebasan PPh pemotongan atas pembebanan biaya operasi fasilitas bersama (cost sharing) oleh kontraktor dalam rangka pemanfaatan barang milik negara di bidang hulu migas dan alokasi biaya over head kantor pusat.

Poin lainnya adalah pemberian fasilitas non fiskal seperti seperti invesment credit, depresiasi yang dipercepat serta DMO holiday, konsep sliding scale yakni konsep fleksibelitas penerimaan negara dan kontraktor berdasarkan perkembangan harga minyak dunia.

Tumiran, Anggota Dewan Energi Nasional (DEN), menegaskan ada beberapa permasalahan yang harus diperhatikan pemerintah untuk segera dicarikan solusi pembenahan masalah migas, mulai dari masalah teknis, monetisasi temuan yang ada serta fiskal dan regulasi yang menentukan dalam kepastian berinvestasi.

“Regulasi memang menjadi salah satu penghambat dalam pengembangan infrastruktur minyak dan gas. Padahal itu poin penting yang harus segera dikembangkan secara masif,” kata Tumiran.

Faisal Basri, pengamat ekonomi dari Universitas Indonesia, mengatakan masalah di sektor migas yang terjadi saat ini bermula karena tidak hadirnya secara nyata pemerintah. Padahal peran pemerintah sebagai regulator inilah yang menjadi kunci untuk bisa memulihkan keterpurukan kondisi migas Indonesia.

“Semua masalah regulator bukan persaingan. Seperti masalah gas, harusnya bereskan regulatornya yang buat harga mahal. Jangan salahkan Pertamina dan PGN. Mereka kan operator, justru mereka menderita karena regulatornya,” tandas Faisal.(RI)