JAKARTA – PT Newmont Nusa Tenggara (NNT) mengaku operasinya tidak banyak terpengaruh, dengan berlarutnya proses divestasi tahap akhir sahamnya. Namun perusahaan tambang tembaga dan emas yang mengolah cadangan Batu Hijau ini berharap, peralihan 7% kepemilikan kepada pihak nasional itu dapat cepat selesai, karena menyangkut pelaksanaan kewajiban sesuai Kontrak Karya.

“Berlarutnya proses divestasi 7% tahap akhir ini tidak mengganggu operasi PTNNT. Tetapi proses divestasi ini harus cepat diselesaikan, karena ini menyangkut kewajiban,” ujar Public Relation Manager PTNNT, Rubi W Purnomo di Jakarta, Jumat, 3 Agustus 2012.

Pada hakikatnya, kata Rubi, pemegang saham asing PTNNT sudah melaksanakan kewajibannya mendivestasikan 31% saham PTNNT kepada pihak nasional Indonesia. Termasuk divestasi saham tahap akhir tahun 2010 sebanyak 7%, yang sudah ditawarkan sejak 6 Mei 2011. Sesuai Kontrak Karya PTNNT, 7% saham divestasi tahun 2010 itu sudah ditawarkan kepada Pemerintah Pusat.

Pemerintah Pusat lantas menunjuk Pusat Investasi Pemerintah (PIP) untuk mewakili pembelian saham tersebut. Pada Jumat, 6 Mei 2011 silam, juga telah ditandatangani perjanjian jual beli 7% saham divestasi PTNNT tahun 2010 seharga USD 246,8 juta, antara PIP dan Nusa Tenggara Partnership BV selaku pemegang saham asing PTNNT.

Namun pembayaran tidak kunjung dapat dilakukan oleh PIP, karena langkah Pemerintah Pusat membeli 7% saham divestasi tersebut ditentang oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Alhasil, sampai sekarang saham tersebut belum berpindah kepemilikan ke pemerintah. Akibatnya, ditaksir negara merugi hingga Rp 400 miliar lebih, akibat selisih kurs pada harga jual dan dividen 2011 yang tidak terbayar akibat saham belum berpindah kepemilikan.

Akibat DPR Tutup Mata

Seperti diketahui, DPR yang dimotori Komisi VII dan Komisi XI menginginkan, hak pembelian 7% saham divestasi PTNNT tahun 2010 itu tetap diberikan kepada tiga pemerintah daerah (pemda) di Nusa Tenggara Barat (NTB). DPR juga tidak mengizinkan dana PIP digunakan untuk membeli saham divestasi PTNNT.

Dalam banyak kesempatan, Menteri Keuangan Agus Martowardojo sebagai atasan PIP dalam lembaga Kementerian Keuangan menjelaskan, tujuan Pemerintah Pusat ikut memiliki saham PTNNT, ialah untuk ikut mengontrol perusahaan itu. Agar operasi pertambangan PTNNT dapat lebih dioptimalkan untuk mendorong perekonomian Indonesia.

Di sisi lain, Agus juga mengungkap fakta bahwa divestasi saham PTNNT sebelumnya sejumlah 24% kepada tiga pemda di NTB, tidak memberikan banyak manfaat kepada ketiga pemda. Pembelian 24% saham itu didanai oleh PT Multicapital (anak usaha Grup Bakrie) yang kemudian bersama-sama tiga pemda di NTB memiliki saham divestasi tahun 2006, 2007, 2008, dan 2009 itu lewat PT Multi Daerah Bersaing (MDB). Dalam PT MDB porsi kepemilikan tiga pemda hanya 25%, sedang Multicapital 75%.

Terungkap pula fakta bahwa 24% saham divestasi PTNNT itu, ternyata sudah digadaikan ke Credit Suisse oleh Multicapital. Alasannya dana hasil gadai itulah yang digunakan untuk mendanai pembelian 24% saham tersebut. Walhasil, seperti diungkapkan Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sumbawa,Fitrarino, tiga pemda di NTB harus ikut menanggung utang tersebut. Ditambah lagi, tiga pemda sampai hari ini belum sama sekali mendapatkan dividen dari kepemilikannya atas 24% saham divestasi tersebut.

Toh DPR seolah menutup mata dari semua fakta itu, dan tetap keukeuh menghadang pembelian 7% saham divestasi tahap akhir PTNNT oleh PIP. Atas dasar itu, Pemerintah Pusat kemudian mengajukan Permohonan Sengketa Kewenangan Antar Lembaga Negara (SKLN) ke Mahkamah Konstitusi. Namun pada Selasa, 31 Juli 2012, Majelis Hakim MK menolak permohonan tersebut. MK menyatakan penggunaan dana PIP untuk membeli saham divestasi PTNNT harus tetap dengan persetujuan DPR.

Divestasi Ganjal IPO

Demi mendapatkan penolakan itu, Pemerintah Pusat sampai hari ini belum memutuskan, langkah apa yang selanjutnya akan diambil untuk tetap membeli 7% saham divestasi PTNNT. Sementara PTNNT, mau tidak mau harus mengikuti proses yang berlangsung. Diantaranya kembali memberikan perpanjangan tenggat pembayaran 7% saham divestasi. “Perpanjangan terakhir sudah diberikan sampai 6 Agustus 2012. Pasca putusan MK kemungkinan akan diperpanjang kembali,” tutur Rubi.

Pasca putusan MK tersebut, juga ada wacana Pemerintah Pusat akan berupaya ikut memiliki saham PTNNT, lewat pembelian di Bursa Efek Indonesia ketika nantinya PTNNT melakukan Initial Public Offering (IPO). Namun kemungkinan besar IPO belum akan dilaksanakan, sebelum proses divestasi tahap akhir itu tuntas.

Dalam beberapa kesempatan, Presiden Direktur PTNNT Martiono Hadianto mengatakan, langkah menuju IPO baru akan dibicarakan jika proses divestasi sudah tuntas. PTNNT sendiri berniat melakukan IPO, agar pengelolaan perusahaan lebih transparan dan akuntabel, serta untuk memperoleh dana segar. Dana itu akan digunakan untuk pengembangan Fase VI dan VII Tambang Batu Hijau, dan untuk pengembangan Blok Elang dan Dodo di Kabupaten Sumbawa, yang kini dalam tahap eksplorasi.

Sembari menanti babak berikutnya dari perjalanan panjang divestasi ini, Rubi mengaku PTNNT akan tetap beroperasi seperti biasa. Sesuai Kontrak Karya, perusahaan tambang yang 64% pekerjanya berasal dari lokal daerah operasinya, Sumbawa Barat, NTB ini akan tetap mengapalkan konsentrat. Hal ini dianggap bukan pelanggaran terhadap kewajiban nilai tambah, karena konsentrat bukanlah raw material atau bijih. Melainkan hasil tambang yang sudah melalui beberapa tahap pengolahan.