JAKARTA – Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menargetkan penandatanganan Production Sharing Contract (PSC) Blok East Natuna bisa terealisasi pada Januari 2017.

Arcandra Tahar, Wakil Menteri ESDM, menyatakan East Natuna sebenarnya sudah masuk pembahasan pemerintah sejak 2008, namun hingga kini pembahasannya terus mengalami kendala dan terkesan jalan ditempat. Hal ini disebabkan potensi yang ada dianggap tidak memenuhi nilai keekonomian akibat mahalnya investasi.

“Target kita sebenarnya 14 November 2016 harus ditandatangan, tapi kita perpanjang hingga awal 2017. Jadi kita bisa resolve isu-isu yang jadi pembahsan dan bisa menjadi win-win solution,” kata Arcandra disela diskusi bersama Ikatan Alumni Teknik Minyak Indonesia (IATMI) di Jakarta, Selasa (6/12).

Menurut Arcandra, untuk bisa mengejar terget tersebut, pemerintah sudah menyiapkan opsi pemberian insentif yang saat ini dikaji bersama para kontraktor yang tergabung dalam konsorsium, yakni PT Pertamina (Persero), Exxonmobil dan PTTEP.

Komersialisasi potensi minyak dan gas yang ada di Blok East Natuna hingga saat ini terus dikejar agar pengelolaan migas di sana bisa terealisasi dan salah satu opsi yang disiapkan pemerintah adalah gross split.

Arcandra mengatakan dengan mekanisme gross split kontraktor diberikan kebebasan untuk memilih teknologi dalam pengelolaan East Natuna.

“Jadi kalau kontraktor yakin dengan teknologi yang dibawa silahkan kembangkan. Nanti produksinya kita split, kita tidak masuk lebih jauh penerapan teknologinya,” ungkap dia.

Lebih lanjut Arcandra mengungkapkan pemberian insentif untuk pengelolaan East Natuna dinilai menjadi jalan untuk bisa mempercepat pengembangan. Untuk bisa diberikan insentif ada beberapa indikator yang harus diperhatikan. Pertama adalah kondisi harga minyak dunia, kemudian penerapan teknologi apakah mampu melakukan drilling dan berproduksi dengan biaya yang ekonomis termasuk lokasi dari blok apakah dekat pasar untuk memasrkan hasil produksi serta ketersediaan jumlah cadangan.

East Natuna memiliki cadangan besar yakni 46 TCF, jumlah ini bahkan empat kali lebih besar dibandingkan cadangan di Blok Masela. Namun hingga saat ini belum ada kemajuan berarti dalam pengembangannya.

“Apakah Natuna dikatakan marjinal? Tandanya adalah orang mau berlomba untuk mengembangkan lapangan. East Natuna besar cadangan tapi sampai sekarang diam saja, bisa jadi teknologinya, cost mungkin, teknologi belum ekonomis ini yang sedang kita bahas,” paparnya.

Satya W Yudha, Anggota Komisi VII DPR, menegaskan pemerintah tidak boleh kehilangan kontrol atas pengelolaan blok migas, apalagi di East Natuna. Rencana penerapan gross split pada PSC East Natuna dikhawatirkan akan mengurangi keterlibatan pemerintah dan ini berpotensi melanggar amanat UUD karena pengelolaan suatu blok migas diserahkan sepenuhnya ke pihak asing.

Pemerintah diminta untuk memastikan dan lakukan kajian dalam penerapan gross revenue split dan harus dilihat juga berapa net revenue yang diperoleh pemerintah. “Karena kalau gross split artinya pengawasan sepenuhnya ke kontraktor. Itu perlu diingat, pemerintah tidak ada pengawasan lagi,” tandas Satya.(RI)